Dua bulan berlalu dengan sangat indah. Dua sejoli beda dunia itu semakin hari semakin menunjukkan rasa cintanya satu sama lain. Seolah alam pun merestui hubungan mereka, bunga-bunga selalu bermekaran di mana mereka akan singgah. Ikan-ikan pun rasanya dengan senang hati ditangkap para nelayan dengan menunjukkan keberadaan mereka. Pepohonan rindang turut menari kala angin sepoi berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Para manusia biasa yang mendapati mereka yang saling bercumbu dan bercanda ria pun secara tidak sadar menarik kedua ujung bibir mereka. Sejak bertemunya Malaikat Zuo dengan Dewi Sonya, bumi terasa seperti dunia dongeng yang selalu tenteram dan bahagia.
"Setelah sekian lama akhirnya pohon apel ini berbuah," ucap Dewi Sonya tersenyum melihat satu pohon apel yang tersingkir dari kebun apel beberapa meter dari posisinya itu akhirnya berbuah.
"Apa pohon ini sangat istimewa?" tanya Malaikat Zuo memperhatikan beberapa apel yang sudah memerah.
"Ini pertama kalinya aku melihat pohon apel ini berbuah. Dari dulu, saat para pekebun itu memanen apel, aku selalu duduk di bawah pohon apel ini. Aku turut merasa sedih karena hanya pohon ini yang tidak berbuah, sedangkan pohon lain mengundang senyum dan tawa para pekebun karena hasil panen yang melimpah," jelas Dewi Sonya memandang jauh para buruh tengah memetik apel di kebun sang pemilik.
"Itu yang menjadikan pohon ini istimewa. Dia hanya berbuah saat kita bersama."
Dewi Sonya dibuat tersenyum manis saat Malaikat Zuo menuturkan hal-hal romantis, seakan dia memang tahu bahwa itu benar.
"Karena kau membahas apel, apa kau tahu kisah tentang Putri Tidur?" tanya Malaikat Zuo melangkahkan kakinya perlahan, membiarkan jubah merahnya terseret bergesekan dengan rumput hijau yang menjadi alas kakinya. Dewi Sonya diam, memperhatikan betapa tenang langkah yang diambil pujaan hatinya itu. Dia berjalan dengan telanjang kaki, mulai dari membasahi ujung jari kakinya memasuki pinggiran danau, kain sutera jubahnya yang bertumpukan itu pun mulai mengambang dan akhirnya tenggelam, diikuti rambut panjang berwarna putihnya pun turut basah karena Malaikat Zuo tidak kunjung menghentikan langkahnya.
"Zuo! Apa yang kau lakukan?" tanya Dewi Sonya setengah teriak karena ditakutkan akan mengundang perhatian para buruh yang tak jauh dari mereka.
Tanpa menghiraukan pertanyaan Dewi Sonya, Malaikat Zuo tetap berjalan hampir ke tengah danau yang jernih bak kaca itu sampai dua pertiga badannya tenggelam. Sekarang yang terlihat hanyalah bahu dan setengah dadanya yang membentuk lekukan lebih jelas karena kain basah yang menyatu dengan permukaan kulitnya itu.
"Zuo!"
Seketika Malaikat Zuo berbalik memandang wanitanya itu dengan wajah pucat. "Datanglah, Sonya!" ucapnya kemudian menjatuhkan diri ke tengah danau yang cukup dalam.
Dewi Sonya tidak bisa menyembunyikan wajah khawatirnya dan tanpa pertimbangan apapun dia langsung menjinjing gaun bawahnya yang panjang, berlari, kemudian menenggelamkan diri dalam danau, mencari belahan jiwanya yang entah bagaimana dia bisa berpikir untuk melakukan tindakan seperti bunuh diri.