"Pupoo! Mau kemana kau?"
Samar-samar terdengar suara gaduh yang akhirnya membuka kedua kelopak mata sang Pangeran setelah kejadian dua hari lalu.
"Aw! Punggungku." Pangeran Kevin mencoba mengambil posisi duduk dengan perlahan.
"Di mana aku?" tanyanya pada angin segar yang entah bagaimana bisa masuk ke dalam sebuah ruangan yang cukup luas berisi ranjang yang dia duduki saat ini, meja yang lumayan tinggi dan kursi kayu di dekatnya, juga jendela kaca petak berbingkai ukiran kayu dengan kain tipis yang membiarkan cahaya menembus masuk ruangan. Terdengar pula cuitan burung-burung yang saling bersautan dari balik jendela itu. Yang lebih menarik perhatiannya adalah sebuah alat musik harpa berukuran cukup besar yang berdiri lurus dengan posisi ranjang.
"Kenapa aku berasa ada di negeri sakura? Dari buku yang kubaca, mereka memiliki rumah berbahan kayu seperti ini. Bukan begitu?"
Saat Pangeran Kevin berpikir keras sendirian, seorang pria berpakaian seperti pria hutan dengan warna yang dominan cokelat datang. Kemeja dalam dengan lengan panjang berwarna putih, rompi berbahan kulit, celana kulit senada dengan rompinya, dan sepatu yang cukup kusam. Respon terkejut itu seketika berubah menjadi bingung karena pria yang kini baru dilihatnya itu mematung, membuka matanya lebar-lebar dengan mulut sedikit terbuka.
"O! Kau sudah bangun?"
Pria itu langsung berlari dan duduk di sisi ranjang dan memperlihatkan senyum bahagianya itu.
"Siapa Anda?" tanya Pangeran Kevin sedikit risi, tapi tidak dengan rasa takut atau curiga jika dia orang jahat. Walaupun busana yang dipakainya itu cukup keren memperlihatkan kegagahannya, Pangeran Kevin hanya melihat dari garis wajah yang kekanakan dan sederhana.
"Oh, iya. Namaku Arkhan Kivandra. Kau panggil saja aku Bara," ucapnya mengulurkan tangan dan tanpa ragu Pangeran Kevin menerimanya.
"Kenapa Bara?"
"Entahlah." Pria yang mengaku sebagai Bara itu menunjukkan wajah bingung, benar-benar wajah kebingungan. "Mungkin karena ini di desa, rakyat di sini kesulitan memanggil namaku yang terlalu bagus. Jadi mereka mulai memanggilku Bara dan sampai saat ini pun masih seperti itu," tukasnya tersenyum hingga mata tajamnya itu menutup hampir seluruhnya.
"Lalu apa kau mengenaliku?"
Pangeran Kevin mencoba mengungkit satu per satu pertanyaan yang ada di kepalanya dengan cara yang mudah dan tidak membingungkan. Karena entah bagaimana dia bisa sampai di sebuah desa, tapi kebanyakan mereka bukan orang berpendidikan tinggi, pikirnya.
"Kau adalah Gaivan, benar? Gaivan Naraya."
Mendengar pria asing memanggil tanpa embel-embel pangeran membuatnya mengernyitkan dahi, dinilai kurang sopan. Tapi di sisi lain, dia mengetahui bahwa pria itu telah mengenalnya.
Mencoba menata kembali dan sadar diri bahwa dia bukan siapa-siapa di tempatnya saat ini, Pangeran Kevin akhirnya lebih memilih untuk mencoba mendekati pria asing itu untuk mengetahui sejauh apa dia mengenal dirinya. Pangeran Kevin mengambil posisi duduk yang lebih nyaman.
"Benar, namaku Gaivan. Tapi orang-orang memanggilku Kevin."
"Kenapa Kevin?"
Pangeran Kevin yang melepas jabatannya sebagai pangeran memutar bola mata, bingung.
"Itu... kurang lebih sama sepertimu. Walaupun aku tinggal di kerajaan selama ini, tapi mereka juga pasti kesulitan memanggil nama asliku, jadi mereka menggunakan kata Kevin," jelas Kevin merasa terjebak pertanyaan yang sebelumnya dia buat untuk pria di depannya itu.
Bara mengangguk mengerti. Kevin melihatnya, mencari kejelasan apakah dia bisa menerima alasannya itu atau tidak karena wajah yang Bara tunjukkan hanya wajah datar.
"Jadi, sejauh apa kau mengenalku? Bagaimana kau mengenalku? Aku tidak mengenalmu, tapi sepertinya kau tahu lebih banyak tentangku daripada diriku sendiri. Katakan! Apa yang kau ketahui lagi tentangku?"
Bara bisa melihat bagaimana wajah serius pria bermata jernih itu. "Sebelum itu, ayo kita keluar dulu! Kau sudah tidur seharian. Ayo!"
Dengan cepat Bara menarik pergelangan tangan Kevin.
"Tunggu! Aku tidur? Aku tidur seharian? Memangnya apa yang terjadi denganku? Hei!"
Begitu sampai di teras rumah yang berlantaikan kayu bercat cokelat mengkilap, Kevin tidak bisa mengalihkan mata karena sebuah pemandangan telah memikat dirinya. Danau berair jernih dengan warna kehijauan, di atasnya beberapa kelopak teratai mencuri perhatiannya. Sedikit bergeser ke kanan, di tepi danau berdiri sebuah pohon sakura yang bunganya berjatuhan membuat corak pada permukaan danau. Dua bukit berdampingan dengan kesan yang berbeda. Bukit sebelah kanan tumbuh lebat pohon maple, membawa kesan musim gugur yang menenangkan. Di sebelahnya lagi bukit hijau nan rimbun, terlihat juga beberapa batu besar berwana hitam pudar. Pemandangan bak lukisan itu disempurnakan dengan langit biru muda dengan beberapa gumpalan awan putih dan burung-burung kecil yang berkejaran.