"Hei, Vin! Kenapa wajahmu seperti itu? Jangan sampai orang membandingkan wajah tampan dan bersemangatku dengan wajahmu yang lusuh itu!"
Perkataan menohok dari Bara membuat Kevin hanya menghela nafas kecil.
"Kak."
"Ya?"
"Kakak itu... sepupuku, kan?" tanya Kevin membuat Bara membeku. Dia baru tersadar ternyata Kevin telah mengetahui banyak hal selama di Gloria.
"Harus kujawab?"
"Hmm."
"Benar. Ibumu adalah adik dari ayahku. Ayahku dulu yang menguasai tanah ini."
"Kakak putra satu-satunya?"
"I—ya. Tentu saja."
"Lalu, apakah Kakak tahu bahwa aku juga anak tunggal seperti Kakak? Atau aku memiliki saudara?"
"Tentu saja kau anak tunggal. Bukan begitu?"
Kevin cukup yakin mengenai mimpinya, tapi dengan melihat respon cepat Bara yang seolah tanpa berpikir terlebih dahulu membuatnya kembali menemui kebingungan.
"Aku juga tidak tau. Itulah kenapa aku bertanya pada Kakak."
"Benar juga. Kenapa hal sederhana seperti ini membuatku berpikir. Apa kau punya saudara atau tidak? Yang aku tau kau hanya satu-satunya saudara sepupuku."
Dari pada terjebak dalam ketidakjelasan, Kevin menyunggingkan senyum dan merangkul bahu saudaranya itu.
"Baiklah. Lupakan saja!"
"Hei! Berani sekali kau tiba-tiba merangkulku!"
"Bukankah kita saudara? Sekarang aku sudah punya alasan istimewa kenapa aku harus memanggilmu Kakak," saut Kevin bahagia.
"Tetap saja aku lebih tua!"
"Kau lebih tua, tapi bukan orang tua! Ayo berangkat!"
"Ke mana?"
"Bukankah Kakak kemarin bilang kita akan pergi ke Pulau Anggur?"
"Ah, benar. Bukan Pulau Anggur. Lebih tepatnya Dyonisie. Dulu pulau itu adalah milik Dewa Dyonisus, salah satu dewa Yunani. Dan banyak sekali pohon anggur di sana."
"Kakak pernah ke sana?"
"Tentu. Sekitar lima tahun yang lalu. Aku juga mempunyai teman di sana. Akan aku kenalkan dengannya nanti."
"Apa dia seumuranmu?"
"Ya."
"Jadi, aku akan mendapatkan kakak lagi?"
Bara tersenyum dengan kepolosan saudaranya itu.
"Tentu saja. Di kehidupan ini sangat penting menghormati siapa yang lebih dulu lahir ke dunia."
"Oke!"
Kevin menggebrak lantai dengan kaki kanannya yang sudah dipakaikan sepatu, membuat Bara terperanjat kaget.
"Ayo kita berangkat!"
"Ayo!" saut Bara lebih bersemangat. Pupoo yang diam saja dibuat bingung dengan dua pemuda di depannya.
"Tunggu kak!"
"Apa lagi sekarang?"
Bara bersiap-siap menerima pertanyaan atau pernyataan aneh dari Kevin.
"Dimana bekal makanannya?"
***
"Mao, menurutmu apa yang harus aku lakukan sekarang? Bukankah aku sendiri telah mengukir namaku di neraka? Kau tau neraka? Tempat bagi para pendosa."
"Sebelum itu, aku telah menggali lubang kematian. Lebih tepatnya aku sedang melakukannya. Haruskah aku berkhianat dari temanku? Teman kecilku? Arya, dia teman—bukan. Dia adalah sahabatku. Aku bertemu dengannya bahkan sebelum bertemu denganmu, Mao. Saat kecil kami selalu bermain bersama. Dia sering ke desa hanya untuk bermain denganku. Dia sangat menyayangiku. Bukankah aku terlalu jahat jika berkhianat darinya? Tapi aku juga tidak mau jadi anak durhaka. Aku tidak bisa diam saja mengetahui orang tuaku disandera oleh pria itu. Sebenarnya siapa dia? Dia bukan manusia? Ooh... kenapa aku sampai berpikiran seperti itu? Terlalu kejam. Ya. Dia terlalu kejam. Bagaimana ada manusia seperti itu? Benar kan, Mao? Ah... rasanya ingin mati saja."