"Ren! Kau masih setia padaku bukan?" tanya sebuah suara. Ren yang sudah jenuh mengambil posisi berdiri, mendengarkan dengan hati-hati suara tak berwujud itu.
Tanpa ada rasa takut Ren membalasnya dengan nada datar, "Kau meragukanku?"
"Tentu saja tidak. Kau adalah alatku untuk membalaskan dendam pada malaikat itu," tuturnya masih membiaskan wujudnya dalam gelap.
"Benar. Dan sampai akhir aku akan tetap menjadi alatmu. Aku berutang nyawa padamu. Jadi aku akan mengabdikan diriku padamu. Percayalah!"
"Benarkah? Kau akan setia padaku?"
Bats!
Seorang pria besar dengan sayap hitam nan lebarnya melaju dengan cepat, menatap tajam Ren yang masih mempertahankan posisi santainya. Rambut hitamnya melambai, menjulur ke bawah mendekati lantai kayu yang sudah tua itu.
"Kau tidak percaya padaku?" tanya Ren membalas tatapan mata pria itu dengan berani.
Pria itu mulai mengalihkan pandangan. "Kau tau apa akibatnya jika kau melakukan sesuatu tanpa sepengetahuanku kan?" tanyanya dengan nada mengancam. Seolah sudah mengetahui sesuatu.
"Tidak. Aku tidak tau karena aku tidak pernah melakukannya," jawab Ren lagi menanggapi pertanyaan pria itu.
"Benarkah? Apa kau tidak sadar? Kau yakin tidak pernah melakukan kesalahan?"
Pria itu terbang rendah memutari Ren. Kabut hitam menyelimutinya meninggalkan bulu hitam yang kemudian hangus dan lenyap seketika.
"Aku tidak pernah melakukan kesalahan."
"Kau terdengar begitu yakin."
"Untuk apa aku ragu mengatakan kebenaran?"
"Aku tidak suka gaya bicaramu sekarang, Ren."
"Memangnya harus bagaimana?"
"Tidakkah kau terlalu berani sekarang?"
"Lalu apa aku harus takut padamu? Kita hanya sekutu, bukan teman. Aku tidak perlu berbicara dengan memikirkan etika karena sampai sekarang saja aku tidak mengenalmu dengan baik."
"Jadi kau ingin mengenalku? Begitu?"
"Yang aku tau, kau hanyalah dewa yang tengah terhasut dendam. Aku sudah tau semuanya. Benar, aku bertindak tanpa sepengetahuanmu, dan aku juga sudah tau bahwa dendam yang kau simpan itu adalah pada ayahku. Kau cemburu. Kau marah karena ibuku lebih memilih Ayah. Bukan begitu?"
"Diam kau!"
"Lalu sekarang kau menggunakan putra pertama untuk menghancurkan putra kedua mereka? Kau menggunakanku untuk menghancurkan keluargaku yang tersisa? Menurutmu apa yang akan aku lakukan, Dewa Orion?"
"Ren! Kurang ajar!"
Dengan nada tinggi pria yang dipanggil sebagai Dewa Orion itu kembali menghadap Ren dengan wajah menegang karena marah. Kabut yang dihasilkan tubuhnya semakin rapat dan mengurangi pandangan mata Ren.
Sreet!