Begitu aku keluar dari perahu, Freak memekik dan memelesat ke langit, diikuti perahu yang masih terpasang di belakangnya.
“Hei!” aku berseru menegurnya, tetapi sudah terlambat.
Freak mudah sekali ketakutan. Monster pemakan daging membuatnya ngeri. Begitu juga dengan kembang api, badut, dan aroma minuman British Ribena aneh kesukaan Sadie. (Untuk yang satu ini, dia tidak bisa disalahkan. Sadie dibesarkan di London dan seleranya aneh.)
Aku harus segera membereskan masalah monster ini. Setelah itu, bersiul kepada Freak agar menjemputku begitu aku selesai.
Aku membuka ransel dan memeriksa barang-barangku: tali yang sudah dimantrai, tongkat sihir gadingku yang melengkung, segumpal lilin untuk membuat boneka shabti ajaib, perlengkapan kaligrafi, dan ramuan penyembuh yang dibuatkan temanku, Jaz, beberapa waktu lalu. (Dia tahu aku sering cedera.)
Tinggal satu lagi yang kuperlukan.
Aku berkonsentrasi dan mengulurkan tangan ke Duat. Selama beberapa bulan terakhir, aku semakin mahir menyimpan persediaan darurat di dalam alam bayangan—senjata tambahan, baju bersih, permen Fruit by the Foot, dan enam kaleng root beer dingin—tetapi menjulurkan tangan ke dalam dimensi gaib masih terasa aneh, seperti menembus berlapis-lapis tirai tebal yang dingin. Aku mencengkeram gagang pedangku dan menariknya keluar—sebuah khopesh berat dengan bilah melengkung menyerupai tanda tanya. Dilengkapi pedang dan tongkat sihir, aku siap berjalan melewati rawa untuk mencari monster lapar. Betapa menyenangkan!
Aku berjalan masuk ke air dan tiba-tiba terbenam sampai ke lutut. Dasar sungai terasa seperti agar-agar. Seiring setiap langkah, sepatuku menimbulkan suara berisik—ceplop, ceplop—aku senang Sadie tidak ikut. Dia pasti tidak akan berhenti tertawa.