Denara

Yeni Iria
Chapter #1

Pernikahan yang Terlalu Dini 1

1985

Matahari perlahan mulai berwarna jingga. Aku dan Masruroh masih asyik bermain bola bekel di beranda. Mengungguli Masruroh dalam permainan ini bukan hal mudah. Tapi, kali ini sepertinya aku beruntung. Ia melongo saat menyaksikan aku membalikkan empat buah bebek nikel berurutan dalam sekali lemparan bola. 

“Ini berkat aku yang jadi gurumu selama ini, makanya kamu bisa mahir begitu.” Bukannya merasa tersaingi, Masruroh malah menyombongkan diri.

Tunggu saja setelah ini, aku akan benar-benar membuat Masruroh terheran-heran dengan kelihaianku. Mungkin sebaliknya, ia yang harus berguru denganku nanti.

Namun, anehnya setelah melemparkan bola ke atas malah tak ada tanda bola tersebut jatuh lagi ke bawah. Wajah Masruroh pun menegang dan ia bergegas pamit pulang.

“Besok kita main lagi ya.” Ia hanya menggerakkan bibirnya. Tapi, aku tahu pasti yang ia ucapkan.

Saat Masruroh sudah menghilang di balik pagar bambu, bola yang tadi kulempar ke atas kembali jatuh. Aku sudah tahu perbuatan siapa ini. Dengan perasaan kesal aku membalikkan badan.

“Bune.... Aku kan masih mau main, mosok bolane di ambil. Pas Masruroh wes pulang baru di lepas.” Rengekku manja.

Ya, ibuku yang biasa ku panggil Bune itu kini berdiri di belakangku. Ia memang biasa begitu, datang tanpa suara dan menghentikan permainan kami dengan caranya sendiri.

Bukannya menanggapi rengekku, Bune malah memelototi. Matanya yang sudah belo terlihat semakin besar. 

“Hampir magrib loh nduk, mandi. Sebentar lagi kita kedatangan tamu.” Mimik wajah Bune berubah saat mengatakannya.

Siapa gerangan tamu yang akan datang? Hingga bisa merubah mata bune yang melotot tadi menjadi begitu teduh.  

                       ***  

Entah apa tujuannya, Bune memintaku mengenakan kain jarik dan kebaya. Selain itu, ia juga berpesan agar aku tetap menunggu di kamar.

“Jangan keluar kalau belum Bune panggil.” Begitu pintanya.

Pukul tujuh lewat seperempat, tamu yang di maksud Bune tadi sore sudah duduk di ruang tamu. Karena penasaran, aku mengintip dari pintu kamar yang hanya tertutup horden. Ada empat orang yang datang. Aku mengenali salah satu diantarnya. Pakde Pur, adik dari Almarhum Bapak. Sedangkan tiga orang lainnya yang terdiri dari satu lelaki paruh baya, seorang pemuda dan satu lainnya perempuan benar-benar asing bagiku.

Bukan hanya mengintip, aku pun menguping pembicaraan mereka.

“Silakan di cicip dulu Mbakyu, Mas kue ala kadarnya.” Bune membuka pembicaraan.

Lihat selengkapnya