Sebenarnya ini bukan hari yang kunantikan. Aku sama sekali tak mengerti dengan semua yang orang-orang lakukan. Bune tak lagi mengizinkanku pergi bermain. Selain itu ia juga memintaku untuk ikut ke rumah keluarga Darmadi seusai akad.
Aku baru tahu bahwa akad itu hanya mengucapkan kalimat panjang di depan penghulu dan saksi. Kemudian, beberapa orang meneriaki kata sah.
Dan yang paling menyebalkan adalah bagian saat waria tukang salon mendempul wajahku. Ia juga memintaku mengenakan pakaian berat dan agak kedodoran. Selain itu sanggul palsu dan tusuk konde yang cukup banyak membuatku pusing.
Tak cukup sampai di situ. Orang-orang, juga termasuk Bune memintaku duduk diam bersanding dengan Darmadi bagai pajangan. Lalu, tamu yang datang menyalami kami, mengucapkan selamat. Entah untuk apa?
Banyak kisah yang kudengar menjadi pengantin begitu menyenangkan. Tapi, menurutku semua ini tak se-menyenangkan itu. Mungkin aku lebih menyukai bermain bola bekel, meski harus selalu dikalahkan Masruroh.
Siang hari yang gerah. Punggungku mulai basah oleh keringat. Bune datang menghampiriku dan memberikan sepiring nasi pecel.
“Makan dulu, mumpung tamu sudah mulai sepi. Mungkin nanti selepas Zuhur, tamu dari kampung sebelah akan datang. Kamu ndak akan sempat makan, Nduk.” Kulihat Darmadi tengah melahap isi puringnya saat Bune membujukku.
“Susah buat nyuap Bune, lengan bajunya berat.” Ungkapku.
“Sudah Bune, biar aku yang ndulang.” Darmadi menawarkan diri. Ia memberikan piring kosongnya pada Bune dan mengambil bagianku.
“Baiknya mantu Bune.” Itu pujian yang tak pernah Bune utarakan padaku. Lalu, ia beranjak meninggalkan kami.