Dear kertas dan pena
Namaku Denaya.
Aku membenci diriku sendiri karena banyak alasan.
Ku pikir diriku adalah kutukan yang terlahir untuk menebus dosa-dosa di kehidupan ku yang sebelumnya.
Apakah aku masih bisa bahagia?
Aku putri semata wayang orang tua ku. Karena itulah mereka menamaiku Denaya.
Aku tak banyak mengingat masa kecilku. Yang tersisa di ingatanku hanyalah ketika malapetaka itu menimpaku dan aku menjadi penyebab kehancuran keluarga ku. Aku ingin menghilang dari kehidupan mereka, tapi aku tidak punya keberanian lagi setelah upayaku menghilang gagal hari itu.
Sudah ku putuskan untuk tetap hidup. Tapi tujuanku adalah untuk menderita. Karena dengan begitu aku bisa menebus kesalahanku pada keluarga ku yang telah aku hancurkan. Karena aku sangat menyayangi keluargaku.
Ini kisahku.
***
"Denaya, tolong buatkan proposal untuk kerja sama kita dengan mitra. Berkasnya ada di meja saya."
"Baik Bu."
(Saat ini aku bekerja di salah satu kantor swasta. Paling tidak beberapa atasan menyukai ku. Hmm, itu yang kupikirkan.)
"Nay, tolong lihat proposal untuk penulisan yang aku buat ya, mungkin perlu diperbaiki."
"Nay, laporan kegiatan di hotel Cantika dicek juga ya, takut ada yang masih kurang."
"Iya, nanti akan ku lihat."
"Nay, besok sudah Hari Sabtu, jangan lupa janji kita ya. Aku harus memasukkan laporannya Senin nanti."
"Iya, jam 8 kan kak?"
"Yup, jam 8."
Hal seperti ini sering terjadi. Sebenarnya menulis adalah hobi buat Denaya. Karena itulah, teman-teman di kantor sering memintanya mengedit pekerjaan mereka. Kadang kala, dia ingin menolak permintaan mereka. Tapi mulutnya tak pernah bisa terbuka untuk menolak. Sungguh melelahkan.
***
Dear kertas dan pena.
Malam ini aku berharap bisa tertidur pulas. Aku tak ingin bangun besok. Kepalaku hampir meledak dengan segala kesibukan hari ini.
Hari Jumat memang adalah hari yang panjang. Hanya karena besok adalah hari libur kantor, maka hari ini akan menjadi hari yang melelahkan.
"Oh iya, astaga--- aku lupa."