🎵 Oh mengapa... Tak bisa dirimu yang mencintaiku tulus dan apa adanya... Aku memang bukan manusia sempurna namun ku layak dicinta dengan ketulusan... Kini 🎵
"Hallo,"
"Nay, jangan bilang kamu baru bangun."
Denaya melihat nama kontak orang yang baru menelponnya.
"Ah, iya kak Dewi. Maaf aku memang baru bangun. Bagaimana kak?"
"Nay, kamu lupa lagi ya? Ini Hari Sabtu Nay."
"Tidak ko kak. Aku ingat."
"Tapi kamu lupakan kalau kita punya janji?"
Denaya terdiam beberapa detik dan tiba-tiba meloncat dari tempat tidurnya.
"Ah... Iya iya kak. Maaf aku lupa... Jam berapa ya kak?
"Astaga Nay. Jam 8 Nay, aku sudah menunggu kamu sejak 30 menit lalu, lihat tuh, berapa banyak panggilan masuk di hp kamu."
Denaya melirik pada jam weker miliknya, sudah Jam 8.34, pantas saja Kak Dewi rese.
"Iya iya kak. Maaf ya. Aku ketiduran. Aku siap-siap sekarang ya kak."
"Iya, cepat ya Nay."
"Iya kak."
Denaya mematikan telpon. Ia baru sadar bahwa matanya sembab. Air matanya mengalir sejak tadi. Ia menarik nafasnya perlahan. Menahan sesak di dada.
"Maafkan aku pa---" Bisik Denaya lirih.
***
"Nay, sebelum pulang makan dulu ya, aku yang traktir. Lagi pula kamu juga belum makan dari pagi kan?"
"Makasih ya kak." Denaya tersenyum sedikit malu-malu.
Dewi lalu memanggil pelayan dan memesan makanan. Iya bahkan memesan lebih agar Denaya bisa membawanya pulang untuk makan siangnya nanti.
Mereka telah selesai mengerjakan tugas Dewi. Dewi memang sering memakai tenaga Denaya untuk mengedit tugas-tugasnya, tapi dia juga cukup perhatian pada Denaya. Ia tahu, Denaya tinggal sendiri dan kalau Hari Sabtu seperti ini sudah pasti Denaya tidak pernah masak. Ia hanya akan tidur sampai hari berganti ke Hari Minggu. Dewi mengetahui hal ini karena beberapa kali ia mengunjungi Denaya di Hari Sabtu, itulah yang terjadi.
Mereka sudah saling kenal sejak lima tahun lalu, ketika pertama kali Denaya bekerja di kantor tersebut. Denaya bukan tipe orang yang muda akrab dengan orang lain. Karena itulah, mereka baru saja akrab satu tahun kemudian, ketika Dewi mulai meminta bantuan Denaya mengedit laporan-laporannya. Tentu saja, di antara semua rekan kerja, laporan Denaya saja yang tidak pernah ditolak atasan, apalagi diminta merevisi. Denaya memang punya bakat khusus di bidang tersebut.
"Nay, nanti malam mau tidak gabung sama aku dan teman-temanku? Daripada sendirian di rumah."
"Hehe, makasih Kak Dewi. Tapi,"
"Tapi apa? Kamu mau tidur lagi? Nay, kalau kamu hanya tidur-tiduran di waktu senggang kantor, kapan kamu punya pacar Nay? Ingat umur loh."
Denaya agak cekikikan. Secara baru semalam Exel mengatakan hal yang mirip
"Malah ketawa, aku serius loh Nay."
"Iya iya kak... Hehe... Aku ketawa karena hal yang sama juga dikatakan sahabat aku semalam."
"Nah, itu kan Nay, bukan aku saya yang mikir ke sana. Punya anak itu menyenangkan Nay. Jadi mau kan ikut aku malam ini?"
"Waduh, maaf ya kak. Aku sudah janjian sama Exel sahabat aku malam ini."
"Exel? Dia cowok? Wah, ternyata kamu tidak perlu diragukan lagi ya. Aku ikut senang"
Pesanan mereka sudah sampai.
"Bukan kak, Exel itu sudah punya pacar. Ini juga bakalan jalan sama mereka berdua. Lagi pula Exel sudah aku anggap sebagai saudara sendiri ko kak."
"Kamu tidak keberatan jagain orang lagi pacaran?" Suara Dewi seperti berbisik.
"Hahaha... Kak Dewi. Masalahnya aku sudah terlanjur janji."
"Wah, kamu luar biasa sekali Nay."
Dewi memberi tepuk tangan kecil untuk Denaya. Denaya hanya tersenyum menahan tawanya, sambil geleng-geleng.
Mereka sudah menghabiskan makanan mereka, selain yang berada di kotak yang disiapkan sebagai bekal makan siang untuk Denaya di rumah nanti.
"Aku langsung pulang ya Nay."
"Iya kak. Hati-hati ya kak."
"Kamu yang hati-hati sampai rumah ya, terima kasih atas bantuan mu Nay. Kamu memang yang terbaik." Dewi memberi dua jempol untuk Denaya sambil sumbringah.
"Sama-sama kak. Terima kasih juga untuk makan paginya, dan bekal makan siangnya." Ujar Denaya sambil tersenyum.
"Daa daaa..."
Dan mereka berpisah....