Bandung, Juni 2015
Tangan kanan lelaki itu mendekatkan pena yang meneteskan darah dari ujungnya ke depan hidung. Anyir. Sarung tangan di tangan kanannya memerah. Sementara di tangan kiri sarung tangannya masih terlihat putih tulang. Hanya beberapa bercak darah yang mengotori. Cipratan darah juga terlihat jejaknya di kemeja hitam yang dikenakan.
Di bawah meja tempat lelaki itu duduk darah mulai menggenang, dan mengalir lambat mencari tempat yang lebih rendah. Jika dirunut, cairan itu berasal dari sebuah lubang di leher seorang wanita muda yang terikat di kursi di depan lelaki itu duduk. Kursi yang jadi pijakan oleh salah satu kakinya. Lelaki bercambang tipis itu menghirup napas panjang, matanya terpejam, seolah menikmati aroma anyir yang menyergap hidung. Ia menyeringai melihat sosok di depannya melotot.
Napas wanita muda itu tersengal. Ada suara seperti orang ngorok keluar dari lubang di pangkal lehernya disertai sebuah gelembung yang meletup. Lubang yang tadi menyemburkan darah saat pena di tangan lelaki itu dicabut dari sana. Darah itu lalu meleleh membasahi bagian depan tubuhnya. Wanita itu tak berdaya saat embusan napas panjang membuat tubuhnya mengejang, lalu rileks dan kepalanya terkulai.