Ciputat, Juli 2015
Kontrakan Risyal tersembunyi di gang buntu sempit, di belakang sebuah rumah mewah. Terkurung tembok-tembok yang sombong, tanpa ventilasi apalagi jendela. Pun begitu dengan halaman depan, hanya menyisakan ruang untuk parkir sepeda motor. Ada tiga pintu kontrakan, tapi hanya terisi satu. Di pintu paling ujung itulah laki-laki berperawakan sedang itu menyendiri. Menjauh dari keramaian meskipun berada di kota.
Risyal menghela napas. Dicampakkannya ponsel pintar yang tadi digunakan untuk membuka akun Facebook yang menggunakan nama penanya sebagai penulis novel. Reez. Nama singkat itulah yang selama ini ia gunakan untuk menyembunyikan jati diri yang sebenarnya. Akun Facebook itu pula yang dipakainya untuk mempromosikan novel-novelnya sekitar 2 tahun lalu ke belakang. Dulu, orang-orang terdekatnya tidak tahu sosok di balik akun itu, termasuk kekasihnya, Herni Cahyani.
Bagi Risyal, kesendirian adalah salah satu cara untuk tetap eksis. Sebab, hanya kesendirian yang bisa membuatnya terus memainkan jari-jarinya di atas papan ketik netbook usang. Netbook yang dibeli dari uang royalti novel pertamanya. Lima tahun lalu. Dengan netbook itu ia bermimpi menjadi novelis ternama. Jika dilihat dari apa yang sudah diraih, impian itu tidak terlalu muluk. Dua novel romance yang ditulisnya telah membuat nama Reez dikenal dan digandrungi pembaca.
Bagi Risyal, pembaca hanya perlu mengetahui apa yang ditulis. Mereka tidak perlu tahu latar belakang penulisnya. Menurut lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu, pembaca yang benar-benar peduli pada suatu karya, tidak akan mempermasalahkan siapa penulisnya. Selama karya itu bagus, harus diapresiasi. Atau, kalau jelek, pembaca punya hak untuk mencaci. Jika sudah dilempar ke pasar, bukankah penulis sudah lepas dari novel yang ditulisnya?
Risyal menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Netbook di depannya sudah lebih dari satu jam menyala. Kopi di gelas bening hanya menyisakan ampas. Asbak rokok di sampingnya sudah penuh puntung. Tapi hanya halaman Word kosong yang terbuka, tanpa tulisan satu huruf pun. Buntu. Seperti hari-hari yang dilaluinya dalam beberapa bulan terakhir.
Menjadi penulis yang sudah dikenal bukan berarti tanpa beban. Terutama saat pikiran buntu. Itu yang dirasakan Risyal. Hampir dua tahun sejak novel terakhirnya terbit, ia belum menyelesaikan satu novel pun. Memang, dua tahun masih termasuk pendek untuk ukuran penulis. Tapi, untuk para pembaca yang setia menunggu novelnya, itu sudah terlalu lama. Dan, itu sangat menyiksa batin lelaki itu. Untunglah, ia masih bisa menjaga perasaan penggemarnya lewat Facebook. Hanya lewat media sosial inilah ia berinteraksi dengan mereka. Meski banyak yang nyinyir karena ia tidak juga menerbitkan novel baru, tapi tidak sedikit yang terus memberi motivasi, serta menunggu novel barunya segera terbit.
Lelaki berkumis tipis itu memejamkan mata. Kedua telapak tangannya berkait di belakang kepala, menjadi penopang kepala yang terasa berat. Sebuah kejadian dua setengah tahun lalu kembali melintas. Kejadian yang membuatnya tidak lagi bisa berkonsentrasi. Kejadian yang membuatnya pergi meninggalkan kota penuh kenangan. Jogja.
****
Langit malam itu sedikit mendung. Namun, tidak membuat anak-anak muda di Jembatan Kali Code bergegas pergi, meski waktu sudah hampir pukul sepuluh. Setiap malam minggu, jembatan di sebelah timur Tugu Pal Putih itu selalu ramai. Beberapa pasangan muda-mudi terlihat asyik bercengkerama. Di sisi selatan berkumpul anak-anak muda dari klub motor.
Risyal dan Herni beberapa kali menghabiskan malam minggu di sana. Seperti pasangan kekasih lain, mereka tampak mesra. Tangan kanan Risyal merangkul pundak Herni sembari melihat jauh ke utara, ke arah Merapi atau melihat aliran air Kali Code yang berkilatan dan memantulkan cahaya lampu pemukiman. Suatu pemandangan yang membangkitkan romantisme.
“Her, ada yang ingin aku omongin,” ujar Risyal pada kekasihnya. Risyal dan Herni memang tidak punya panggilan khusus. Bagi mereka, memanggil nama masing-masing justru membuat hubungan lebih natural.
“Hm ...,” jawab Herni, tanpa memalingkan wajah. Ia membiarkan rambut panjangnya berkibar diterpa angin dari samping, menggelitik wajah bulatnya.
“Aku punya hadiah untukmu,” lanjut Risyal.
Herni menoleh saat Risyal melepaskan ransel di punggungnya, lalu membuka dan mengambil sesuatu. Sebuah kado segiempat bersampul biru yang diberi pita merah.
“Untukku?” tanya Herni begitu Risyal menyodorkan kado tersebut kepadanya.
“Bukalah!” ujar Risyal sembari menganggukkan kepala.
“Dalam rangka apa ini?” Tanpa menunggu jawaban, Herni menyobek kertas pembungkus kado. Matanya sedikit membelakak. Mulutnya melongo. “Ini, kan ... ini ... ya, ampun. Untukku?” tanyanya. Tangan kanannya memegang dua buah buku.
“Yups.” Risyal mengangguk dan senyumnya semringah.
Refleks, Herni memeluk Risyal. Namun, segera dilepaskannya begitu menyadari beberapa orang menatap mereka.
“Terima kasih, Ris. Aku suka banget.” Hampir saja Herni melonjak-lonjak jika tidak ingat di mana ia berada. “Kau tahu, sudah lama aku penasaran dengan novel ini. Sayangnya saat ini novelnya sulit ditemukan. Selama ini aku hanya membaca ulasan-ulasannya di Facebook, blog, atau Goodreads. Tapi, kini ... ah ... aku bahagia. Memang sih, aku termasuk terlambat mengetahui ada novel keren ini.”
Risyal tersenyum menatap kekasihnya. Keindahan senyum dan tawa di bibir tipis di bawah hidung bangir itu membuatnya tak bisa lupa walau sesaat. Ia merasa beruntung dapat menaklukkan hati wanita di depannya. Wanita yang menjadi perhatian cowok-cowok di kampus dulu. Tidak terasa ia telah menjalin kasih dengannya selama empat tahun.