Jogja, Juli 2015
Herni memandang awan yang tampak seperti kapas; putih dan lembut. Pikirannya turut melayang seperti awan yang berarakan. Dari satu kenangan ke kenangan lain. Dua kenangan yang teramat dekat dirasa, meskipun terpaut waktu cukup jauh. Suara Risyal yang selama berbulan-bulan dinanti akhirnya dapat didengarnya juga.
Ris, aku kangen. Kapan kita bisa jumpa? Kapan kamu beri aku kesempatan menjelaskan semua? Herni merintih dalam hati.
Cewek berwajah bulat manis itu menghela napas, lantas memasukkan kembali ponsel di tangannya ke dalam tas. Ia merasa, kenekatannya menghubungi Risyal barusan justru menambah kerinduan dan penyesalan di hati. Sudah lama ia mencari alasan untuk menghubungi Risyal. Namun, rasa bersalah menjadi penghalang. Kekhawatiran dan ketakutan akan respons sinis dari Risyal menjadi alasan. Tapi, tadi, walaupun masih ada kesan kaku dari nada bicaranya, Herni merasa Risyal telah bisa melupakan kejadian di masa lalu. Kenyataan bahwa nomornya masih disimpan oleh Risyal setidaknya menjadi bukti bahwa cowok berkacamata itu tidak melupakannya begitu saja. Itulah yang dirasakan Herni saat ini.
Ia tersenyum. Tumbuh harapan di hati, suatu saat ia bisa menjelaskan alasannya dulu memilih meninggalkan Risyal. Lamunan gadis itu buyar oleh tepukan ringan di pundaknya. Seorang cowok berambut klimis dan berkemeja rapi tersenyum saat dia menoleh. Welly.
“Kamu di sini, Say?” tanya Welly.
Welly mendekatkan wajahnya ke pipi Herni. Gadis itu melengos, meskipun masih tersenyum. Saat ini ia merasa malas meladeni Welly, meskipun kini lelaki itu adalah kekasihnya sendiri. Ada perasaan tidak rela saat bayangan Risyal langsung terhapus begitu saja karena kehadirannya.
“Makan yuk! Sudah jam satu nih.” Welly melihat jam di pergelangan tangan.
Herni mengangguk. “Oke,” jawabnya singkat.
Welly melajukan motor sportnya dengan pelan. Beberapa kali ia melihat ke spion, memperhatikan wajah pacarnya itu. Tatapan kekasihnya itu sering kosong. Dan, duduknya tidak seperti biasa. Kali ini ada jarak di antara mereka berdua. Welly tahu keadaan hati kekasihnya yang sejak tadi lebih banyak diam. Hatinya kesal, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Cowok yang selalu berpakaian rapi itu tahu, dalam keadaan seperti itu Herni tidak bisa diganggu. Ia tidak bisa memaksa Herni bicara. Kalau nekat bertanya atau mengajak bicara, bisa-bisa dia kena semprot. Dan, mereka bisa tidak saling sapa selama beberapa hari. Oleh sebab itulah, dia memilih diam. Mengikuti apa saja yang dikehendaki pacarnya itu. Memendam rasa kesal setiap kali Herni bersikap seperti itu. Dan, dalam keadaan itu, ia akan menggeber sepeda motornya dengan kecepatan tinggi.
Herni yang membonceng di belakang bukannya tidak tahu jika kekasihnya sedang kesal. Namun, kali ini ia jauh lebih kesal. Ia membiarkan kekasihnya itu mengebut tanpa rasa takut.
“Makan di mana, Say?” tanya Welly saat melintas di Jalan Kolombo.