"Is, gimana nih? Gue udah kehabisan cara. Si ibu gak mau ngomong lagi, sama siapa lagi kita nanya ya Is?", Marco bingung memikirkan caranya.
"Gue juga gak tahu Co. Atau gini aja, kita tanya dosen dengan cara ngajak ngobrol biasa dulu, biar dosen itu sendiri yang kasih tahu kita, gimana?"
"Tapi gak gampang Is. Lagian ya kalau kita lakuin kayak yang loe bilang trus mereka curiga gimana? Ntar kita dikeluarin dari kampus". Gak ah, gue gak mau ngambil resiko yang besar. Ini tahun terakhir kita Is. Gue gak mau bernasib sama kayak Mario".
"Trus gimana? Atau gini aja deh, kita dekatin Sandra aja. Gak mungkin kan dia gak tahu apa-apa tentang Mario?"
Marco yang mendengarnya pun kaget. "Hah? Gila loe ya, parah! Masa Sandra sih, kayak gak ada yang lain aja. Loe emang gak tahu apa nasib orang yang berhubungan sama dia? Gak ah pokoknya gue gak mau. Sorry ya Is gue bukannya takut sama dia tapi gue takut kalau dia ganggu keluarga kita. Gue cuma punya nyokap gue Is".
Louis sebel mendengar ucapan Marco. "Ya elah, trus maksud loe gue gimana? Emang loe pikir pasukan gue gak banyak? Co, kita gak punya pilihan lain. Sandra yang paling lengket sama Mario, kalau loe bisa deketin dia pasti semua terjawab. Ayo dong, buat loe juga kan?"
"Gimana cara gue deketin dia?".
Louis memandang wajah Marco dan menilai penampilannya.
"Gini Co, kalau loe mau dekat sama Sandra loe harus ubah penampilan dulu. Rambut loe kita pangkas model baru trus pakaian loe juga yang bagusan dikit. Pokoknya tenang aja hari ini kita ubah penampilan loe. Besok loe pasti dilirik Sandra, percaya deh sama gue. Yuk balik ke kelas". Mereka kembali ke kelas dan tidak sengaja melihat Sandra yang sedang mengobrol dengan Mario dan mengintip mereka yang sedang ngobrol.
"Eh, itu mereka kan? Ngapain mereka? Kita dengerin yuk Co. Siapa tahu kita dapet info dikit yang ada hubungannya dengan loe".
"Ayo, tapi kayaknya Sandra lagi sebel sama Mario deh".
"Eh Is, apaan tuh?", Marco menunjuk pada yang dipegang Mario.
"Mario, lihat. Dia kayak pegang selembar kertas gitu. Gak mau lagi dia kasih ke Sandra tumben, biasanya dia selalu kasih apa yang Sandra mau".
Mereka menguping pertengkaran Sandra dan Mario yang rebutan foto. "Sini gak? Kasih sama gue fotonya Mario!"
"Apaan sih loe, gak mau. Buat apa fotonya?"
"Mau gue bakar!", jawab Sandra kesal. "
Apa? Bakar? Loe gak punya hak buat bakar foto ini. Cuma ini yang gue punya", Mario mengangkat foto itu keatas dan Sandra berusaha meraihnya.
"Bodo. Emang gue pikirin?", ejek Sandra. "Loe pikir gue gak bisa dapetin tuh foto dari tangan loe?"
Marco dan Louis kaget saling pandang. "Hah, foto? Foto apaan ya Is".
"Gak tahu Co, kita dengar aja dulu sampai selesai".
Sandra berusaha ambil foto itu kembali dan ternyata berhasil. Tapi Mario merebut dengan paksa kembali yang akhirnya foto itu pun robek dan Mario marah sama Sandra.
"Sandraaaa!!!! Aaaakh!!! Loe sih ngeselin banget, robek kan?"
Sandra balik marah ke Mario. "Loe juga nyebelin jadi cowo. Kalau gue minta ya kasih, gini nih akibatnya".
"Tahu ah terserah loe. Makan tuh foto". Sandra kaget tidak percaya Mario akan benar-benar marah padanya.
"Mario, loe beneran marah sama gue? Cuma karena ini? Beneran? Ya elah biasa aja kali. Lagian ngapain loe nyimpan foto orang yang udah mati. Emang dia bisa hidup lagi gitu?"
Mario marah dan membuang bagian foto itu. "Mario, Mario, tunggu. Mario masa loe gini sih sama gue". Sandra mengejar Mario.
"Eh itu potongan fotonya dibuang kita ambil Co". Marco dan Louis mengambil foto yang dibuang Mario.
"Cuma bagian kepalanya aja lagi, gimana nih?"
"Ya udah kita simpan aja dulu. Siapa tahu Sandra buang yang ada sama dia ya kan?"
"Is, mulai besok kita harus kerja keras karena besok kita akan cari disetiap tong sampah kampus potongan foto itu. Siapa tahu langsung dibuang sama Sandra ya gak?"
"Kenapa gak mulai sekarang aja Co. Sekarang sampai sore, setelah itu kita pulang takutnya gak keburu. Ya udah kita minta bantuan cleaning service aja Co, gimana?"
"Ya udah yuk ke kelas".
Hari berganti terus menerus. Sudah sebulan mereka mencari potongan foto itu tapi tidak ada hasilnya. Mereka sudah meminta bantuan pada semua cleaning service kampus dan penjaga kantin untuk memberikan potongan foto itu.
"Gimana ya Is, kok belum ada hasilnya? Apa kita langsung dekatin Sandra?"
"Kan loe belum ubah penampilan Co. Udah gue bilang kalau mau dekatin cewek kayak Sandra harus ok".
"Ya udah demi potongan foto dan kejadian aneh yang gue alami, gue mau lakuin apa yang loe bilang meski harus ribut sama Mario".
"Kenapa ribut sama dia? Emang Sandra pacarnya gitu?"
"Loh emang kelihatannya gitu kan? Masa mereka gak punya hubungan apa-apa dengan Sandra yang selengket itu sama Mario".
"Eh Marco, gue kasih tahu ya sama loe. Sandra itu cewek gampangan, dia cuma manfaatkan wajah sama bodynya yang sexy. Mana ada mereka pacaran, lagian ya kalau mereka pacaran kok Mario ijinin Sandra goda cowo lain".
"Emang ada gitu cowo yang digoda Sandra? Siapa Is?"
"Ada tuh di kelas sebelah dan di kelas adek gue. Makanya setiap Sandra main ke kelas Viona dia sebel banget lihatnya".
Marco dan Louis mulai serius untuk mengungkap misteri yang menimpa Marco saat ini dan Marco mulai mengubah penampilannya.
"Siang pa Maman", sapa Louis.
"Eh, Louis. Udah lama gak kesini sibuk ya?", jawab pak Maman tukang pangkas langganan keluarganya.
"Iya nih pak Maman, sibuk nyusun skripsi pak. Oya pak, kita kemari mau pangkas tolong ubah penampilan kita ya khususnya temanku ini. Buat dia gak dikenali orang-orang. Bosan banget lihat rambutnya begini".
"Ok bisa diatur ini rambutnya. Mau sekalian diwarnai gak?", tanya pak Maman ke Louis.
"Warnai aja pak Maman. Tapi apa ya yang cocok buat dia yah?"
"Burgundy aja gimana Is? Pasti cocok banget sama wajahnya, jadi mirip kayak orang korea gitu. Karena banyak yang datang kesini minta diubah ala korea yang lagi trend itu. Gimana?"
"Ya udah kerjain sekarang aja pak. Aku mau lihat perubahannya setelah dipegang pak Maman".
"Eh gak usah, apaan sih loe. Gak pak, diubah aja potongan rambut saya gak usah diwarnai takutnya uang saya gak cukup, maaf ya pak".
Louis tertawa mendengarnya. "Hahahaha...Loe lucu banget sih Co. Gue yang bayar udah loe tenang aja, diam aja disini ya. Ayo pak Maman langsung dikerjai".
Sewaktu tukang pangkas itu mulai memangkas dan mewarnai rambutnya, Marco melihat wajah tukang pangkas di cermin itu berubah menjadi Silvi. DHEGG!!!! Marco kaget dan hampir lompat dari tempat duduknya.
"Hah!!!"
"Ada apaan Co? Kok loe kaget sih?" Marco memandang sekitar tempat pangkas.
"Ada apa Marco?", tanya pak Maman.
"Gak ada apa-apa kok. Maaf ya pak, silahkan dilanjutkan". Setelah selesai dipangkas Marco melihat hasilnya. Benar apa yang dikatakan Louis. Marco berubah drastis seperti bukan dia yang dulu.
"Wiihhh!!! Ganteng banget loe Co. Benar gue gak bohong ini, bukan karena loe sahabat gue tapi memang loe ganteng maksimal. Besok pasti anak-anak pada heboh", Louis bicara dengan nada senang dan rasa yang tidak menyangka pada sahabatnya yang sangat ganteng setelah mengubah tatanan rambutnya.
"Makasih ya pak Maman. Kalau aku nanti aja bareng sama papa. Ini pak Maman uangnya. Makasih pak, kita pulang dulu ya".
"Makasih ya, hati-hati dijalan. Salam sama papamu". Mereka pun pulang, sebelumnya Louis mengantar Marco pulang dulu karena dia tidak membawa kendaraan.
"Co loe tadi kenapa sih di tempat pangkas itu? Gue jadi gak enak karena langganan keluarga gue itu", tanya Louis.
"Maaf ya Is. Itu karena wajah tukang pangkas tadi yang gue lihat berubah jadi Silvi. Matanya merah melotot tajam ke gue seolah dia gak suka buang waktu kesana".
"Hah? Masa sih trus-trus?"
"Ya makanya gue minta maaf. Gue kan tadi melihat sekitar ruangan pangkas tapi dia gak ada".
Mereka diam sambil mikirin kejadian di tukang pangkas tadi hingga sampai di rumah Marco.
"Sore tante", kata Louis menyalam mamanya Marco.
"Sore. Eh, Louis itu siapa Is?" Benar saja banyak yang tidak mengenali Marco termasuk mamanya sendiri.
"Ini? Masa tante gak kenal? Ini Marco tan".
"Ma aku pulang", sapa Marco sambil menyalam mamanya. Mamanya kaget melihat penampilan anaknya.
"Hah? Ini kamu? Benaran? Ganteng banget kamu, sampai mama gak kenalin anak mama sendiri".
"Ya ma lagi ingin ganti suasana aja. Ini idenya Louis sih ma, ya gak ada salahnya kita terima saran sahabat sendiri. Eh pas dicoba emang benar, mama gak ngenalin aku sama kayak Louis tadi ma".
"Oh jadi ini idenya Louis. Bagus juga cocok sama wajah kamu".
"Ya udah tan, aku langsung balik ya. Co sampai besok ya, gue jemput atau pergi sendiri?"
"Sendiri aja Is. Lagian motor gue udah gak rusak lagi kok".
"Ya udah sampai ketemu dikampus besok".
"Hati-hati ya Louis. Salam sama keluarga kamu dan makasih udah antar Marco pulang".
"Ya tan, sama-sama".
"Pulang dulu ya", sambil membunyikan klakson.
Besoknya mereka memasuki area kampus bersama. Semua orang yang melihat mereka kaget tak percaya apalagi Marco yang berubah drastis sejak mengubah penampilannya.
"Tuh Co, lihat. Semua mata tertuju sama loe".
"Apaan sih loe. Sama kita kali, itu yang benar. Kan loe juga beda penampilannya".
"Ya tapi loe yang paling kelihatan bedanya".
Sandra datang mendekati mereka dengan gaya centilnya dan mencoba untuk menggoda Marco yang ganteng.
"Hai ganteng. Gue gak nyangka deh loe bisa berubah jadi ganteng maksimal kayak gini. Loe Marco kan?"
"Ya gue Marco".
"Gimana San? Sekarang Marco boleh dekat sama loe?"
"Ya cuma sekedar ngobrol aja sih, ya kan Co?", kata Sandra dengan menyenggol lengan Marco.
"Ya itu juga kalau loe mau. Secara kan ada Mario, gue harus waspada juga sama dia, nanti jadi salah paham".
"Mau kok. Maaf ya buat kalian tapi kalau mau dekatin gue emang harus kayak Marco penampilannya. Masa cewek cantik dan sexy sekampus kayak gue dekat sama cowo dekil, ih gak banget", Sandra membuat gaya yang menjijikkan bagi mereka berdua, setelah itu minta maaf kepada Marco dan Louis.
"Ups!!! Sorry gak maksud kok gue".
Tiba-tiba Mario dan yang lain datang. Dia risih melihat pemandangan didepannya.
"Sandra!!! Ngapain loe sama mereka?", tanya Mario sambil melihat Marco dari atas sampai bawah dengan wajah kaget tidak percaya.
"Ini loe kutu buku? Wah..bisa juga ya loe ubah penampilan cupu loe itu. Siapa yang ngajarin? Louis? Tapi ya, sorry seganteng apapun loe tetap gue yang menawan", dengan gaya sombongnya Mario.
"Hahahaha... Apa loe bilang? Loe yang paling menawan? Loe lihat dong Marco, masa dia gak menawan, ya gak mungkin lah".
"Apa loe bilang?!", marah Mario yang ingin memukul Louis karena merasa dipermalukan. Tapi Sandra menarik tangan Mario agar mereka pergi lebih dulu.
"Udah Mario apaan sih loe. Ayo kita langsung kekelas aja. Duluan ya semua bye...". Mereka masuk kelas, tapi Mario masih kesal dengan kejadian yang tadi.
Buk!!! Mario memukul meja dan kursinya.
"Awas loe Is. Gue gak akan lepasin loe".
"Apaan sih loe. Udalah, emang bisa apa dia lawan loe. Nih ya gue kasih tahu sama loe, kalau mereka sampai macam-macam loe tinggal lapor aja sama bokap loe. Tahun depan mereka pasti ngulang lagi, gampang kan? Kayak gak pernah aja loe kayak gitu".
"Ya loe tenang aja, ada kita-kita. Loe tinggal kasih perintah ke kita buat ngehabisin mereka berdua. Lagian loe sih San, ngapain kecentilan sama Marco?", kata teman Mario.
"Apa? Gue kecentilan sama mereka? Gue cuma say hallo kok sama mereka. Emang salah? Trus kalau ada salah, emang salahnya dimana?"
"Ya loe kan tahu mereka musuh kita, khususnya gue. Loe gak usahlah sampai kayak gitu segala. Gak penting tahu". Mario marah dan Sandra kembali merayunya dengan gaya centilnya yang membuat Mario luluh lagi.
"Kenapa sayang? Kamu cemburu? Ya elah sama potongan kayak Marco aja cemburu. Tenang aja gue gak akan ke lain hati kok, percaya deh sama gue", ujar Sandra dengan menyenderkan kepalanya didada Mario.
"Cemburu? Gue? Gila kali loe! Siapa juga yang cemburu?"
"Udah gak usah marah-marah lagi, nanti dikira dosen kamu berantem lagi", membelai wajah Mario.
"Loe lihat tuh gayanya si Sandra. Murahan banget. Jijik gue. Pantas si Viona benci banget sama cewek feminim", kata Louis yang dari tadi memperhatikan mereka.
"Ya gak kayak Sandra juga kali maksudnya Is. Maksud adik loe yang gak bisa jaga diri dari orang jahat gitu Louis", kata Marco.
"Mario hari ini kita mau kemana? Gimana kalau nonton?" Mario masih diam aja karena masih kesal dengan kejadian tadi pagi.
"Mario..eh Mario... Hallo..!!!", melambaikan tangan ke wajah Mario.
"Woy!!!", menyenggol badan Mario dan Mario sontak marah pada Sandra. Sandra yang melihatnya pun kaget.
"Apaan sih!!! Kok loe ngebentak gue? Ya udah kalau gak mau, biasa aja dong. Gak usah kasar. Ini yang gak aku suka dari kamu. Tempramen kayak anak-anak. Aku mau pulang aja".
Mario menahan tangan Sandra. " Ntar dulu. Loe mau kemana sih?"
"Lepasin gak? Lepasin gue. Mario lepasin gue, sakit tahu!"
"Kita pulang bareng aja gue masih kesal karena kejadian tadi pagi, gara-gara Louis ketawain gue. Kan loe lihat sendiri didepan anak kampus yang lain dia gituin gue".
"Gue kan juga udah bilang gak usah dipikirin. Loe itu anak rektor, nanti kita pikirin gimana caranya balas dia. Udah yuk pulang", Sandra mengajak pulang Mario.
"Bentar ya gue ambil mobil dulu. Loe tunggu disini bentar".
"Ya udah buruan panas nih". Mario segera mengambil mobilnya di parkiran dan tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ternyata panggilan itu dari sekretaris papanya. Drrtt...Dia mengabarkan kalau papanya pingsan dan dibawa ke rumah sakit.
"Hallo, siapa ini? Apa benar ini Mario putra dari pak Darwin?"
"Ya saya sendiri, ini siapa?"
"Saya sekretarisnya pak Darwin. Saat ini papa anda sedang dirawat di rumah sakit, beliau pingsan".
Mario kaget dan langsung rem mobilnya tiba-tiba. "Apa? Papa pingsan? Kok bisa? Ya udah tolong kirim alamatnya sekarang. Saya segera kesana". Mario menutup telepon dan pergi ke rumah sakit. Sangkin fokusnya pada papanya Mario lupa kalau Sandra sedang menunggunya.
"Kemana sih Mario? Ambil mobil lama banget, bete". Sandra ngomel sambil kipas-kipas pakai tangannya.
"Malah panas banget lagi, bisa jelek kulit gue gini".
Marco yang melihat Sandra berhenti dan mengahampirinya untuk menawarkan tumpangan pada Sandra.
Wah kebetulan gak ada Mario lagi. Ini kesempatan gue buat dekatin dia pasti dia tahu sesuatu.
"Hai San, ngapain sendirian aja disini? Mana Mario? Biasanya selalu bareng".
"Tahu tuh anak kemana. Katanya mau ambil mobil diparkiran tapi belum datang juga. Gak tahu gue dia kemana".
"Ya udah kalau gitu pulang sama aku aja gimana? Ya tongkrongan gue cuma ini, itu juga kalau loe mau sih gue gak maksa".
"Ya udah deh gue mau. Salah dia ninggalin gue sendiri kayak orang bego gini". Marco memberi helm ke Sandra dan mereka pulang bareng. Sebelum mengantar Sandra pulang, Marco ajak Sandra makan siang dan dia setuju.
"San, kita makan siang dulu yuk mau gak?"
"Boleh, mau makan dimana emangnya?"
"Loe, kalau gue bawa makan di warteg ilfil gak?"
"Gak sih asal bersih dan higenis aja".
"Ya udah kita makan dulu ya".
"Kita udah sampai San, ini tempatnya yuk masuk. Gimana San, loe cocok gak sama tempat ini".
"Cocok. Gue suka tempatnya rapi, higienis, pelayannya juga ramah".
"Bagus deh, ini warteg langganan aku sama Louis".
"Eh, mas Marco udah lama gak kesini. Mana mas Louis?"
"Tuh kan, pelayannya sampai hapal nama gue sama Louis. Gak ikut, dia udah pulang duluan mba".
"Mau pesan apa? Ini pacarnya ya, cantik. Mas Marco pintar pilih pacar ya".
"Bukan mba, ini teman kampusku".
"Oh maaf, mau pesan apa?"
"Kamu mau apa San?"
"Aku mau makan rendang deh. Ini sapi asli kan? Soalnya aku pernah makan rendang bukan daging sapi, gak tahu daging apaan kayak merah gitu".
"Asli mba. Kami menjamin mutu dan kualitas makanan disini. Asli dan selalu baru biar pembeli gak kapok makan disini".
"Ya udah aku mau rendang sama soto. Minumnya es teh itu aja. Kalau kamu?"
"Aku mau gulai kambing sama es teh aja. Udah itu aja mba".
"Gak ada tambahan lagi?", tanya pelayan.
"Gak itu aja, nanti kita pesan lagi kalau kurang", kata Marco.
"Baik sebentar kami siapkan".
Sambil menunggu pesanan mereka datang, tiba-tiba Mario menelepon Sandra.
"Eh bentar, aku angkat telepon dulu. Mario? Mau apa dia? Hallo! Kenapa Mario? Aku udah balik duluan", jawab ketus.
"San, sorry gue tinggalin loe. Papa gue masuk rumah sakit tadi. Sekretaris papa telpon gue, kalau papa pingsan tiba-tiba".
"Apa? Papa kamu pingsan? Trus sekarang gimana?"
"Udah ditangani dokter. Gue juga gak tahu gimana, dokter dan yang lain masih didalam, gue takut kehilangan papa gue San, gue belum siap".
"Loe tenang dulu, berdoa aja papa loe pasti baik-baik aja, Ok?"
"Ya San, nanti gue telepon lagi. Sekali lagi sorry ya, gue gak jadi antar loe pulang".
"Ya udah santai aja gue ngerti kok. Loe jagain aja papa loe ya, sampai nanti. Kabari gue kalau ada apa-apa". Telepon dimatikan.
"Kenapa San? Siapa yang masuk rumah sakit?", tanya Marco ke Sandra.
"Papanya Mario tiba-tiba pingsan dan dilarikan di rumah sakit, makanya dia telpon gue minta maaf karena gak jadi pulang bareng". Pelayan datang membawa pesanan mereka dan wajah Silvi muncul diwajah pelayan yang membuat Marco kaget.
"Mas kenapa? Ada yang aneh dari saya? Saya orang lama loh mas, masa mas gak kenal. Kan saya yang catat pesanan mas sama mba nya tadi".
"Co, loe kenapa sih? Maaf ya mba", kata Sandra.
"Gak kok. Gue kayak keingat sesuatu pas lihat mbanya. Maaf ya mba dan makasih udah antar pesanan kita dengan cepat".
"Sama-sama", jawab pelayan.
"Ayo kita makan", kata Marco. Mereka mulai makan.
"Loe makannya banyak juga ya San. Baru loe cewek yang gue lihat makannya banyak tapi bodynya tetap cantik".
"Apaan sih loe, ledekin gue ya?", Sandra mendorong badan Marco.
"Serius gue. Ya udah kita habisin ya makanannya". Sandra melahap makanannya sampai mulutnya belepotan kuah rendang dan Marco nge-lap mulutnya dengan tisu.
"San, bentar. Maaf ya loe lahap banget sampai belepotan kuah rendang". Mereka saling pandang.
"Oh, gue kalau makan suka gitu".
Sandra emang cantik pantes banyak yang suka termasuk Mario, dalam hati Marco. Dia tersadar, Eh, gue kenapa sih?
"San, sorry. Gue mau tanya sesuatu, boleh?"
"Tanya aja, apaan?"
"Loe sama Mario hubungannya kayak apa sih? Kok kalian dekat banget. Kalian pacaran atau".
"Gak kok. Kita gak pacaran, emang kita gitu dari dulu. Cuma senang-senang aja".
"Kok loe mau sih gak ada kejelasan gitu? Setahu gue cewek gak suka diperlakukan kayak loe gini, tapi loe santai aja ya".
"Sebenarnya gue juga gak suka, tapi Mario masih nyaman di friendzone. Gue gak bisa berbuat apa-apa".
"Emang harus Mario gitu yang loe deketin? Gak ada cowo lain gitu? Emang loe gak punya tipe pria ideal?"
"Punya. Gue suka pribadi cowo yang kayak loe gini dan gue berharap Mario bisa berubah kayak loe sedikit aja".
"Berarti loe suka dong sama gue, pacaran aja sama gue", kata Marco menggoda Sandra.
"Apaan sih loe. Gak ah gue masih suka sama Mario, kan gue bilang tipe cowo kayak loe tapi bukan berarti loe juga yang jadi pacar gue".
"San, loe berapa lama sama Mario?"
"Udah lama, mulai ospek gue udah kenal sama dia. Awalnya dia orang yang menarik tapi seiring berjalannya waktu ternyata dia orangnya arogan tapi gak kasar sih sama perempuan".
"Emang alasan apa yang buat loe gak bisa lepasin dia?", tanya Marco.
"Dia banyak banget bantu gue sama nenek. Gue anak yatim piatu, gue besar ditangan nenek. Hidup gue itu susah Mario tahu itu dan kelamnya hidup dia gue tahu juga".
Marco kaget mendengar Sandra bilang kelam. "Kelam? Emang masa kelam dia apa? Bukannya dia anak konglomerat ya? Masa sih punya masa kelam?"
"Ya masa kelamnya kehilangan mamanya. Masa kehilangan itulah masa kelamnya.
"Bukannya masa kelam yang berhubungan dengan kejahatan ya?". Sandra kaget mendengar ucapan Marco.
"Kejahatan apa? Dia gak punya catatan kriminal kok. Bagi dia gak punya mama itu adalah masa kelam".
"Oh gitu San. Loe pernah dengar berita tentang kampus kita gak? Maksudku tentang ada yang bunuh diri, kampus kebakaran, pembulian, pelecehan seksual atau apalah gitu".
"Gak kok, emang kenapa Co? Loe ada masalah ya dikampus kita?"
"Gak kok gak ada. Gue cuma mau tahu aja kayaknya kampus kita baru direnovasi jadi gue berasumsi ada masalah apa gitu dulu dikampus".
"Gak ada kok. Gedungnya yang baru dicat bukan direnovasi. Udah yuk pulang, gue takut nenek khawatir".
Dalam hatinya, Marco bertanya. Kok gelagat Sandra aneh sih? Kayak ada yang disembunyikan. Gue harus terus cari info dari dia. Pasti dia tahu sesuatu.
"Ya udah, ayo kita pulang yuk".
Setelah selesai makan siang Marco mengantar Sandra pulang dan bertemu dengan nenek Sandra.
"Nek, aku pulang", kata Sandra menyalam neneknya.
"Nek, kenalin ini Marco teman sekampus aku dan Mario. Co, ini nenekku".
"Marco, nek", menyalam neneknya Sandra.
"Kamu kenapa gak pulang bareng Mario? Kemana dia?", neneknya Sandra bertanya pada cucunya.
"Papanya tiba-tiba pingsan, nek. Langsung dibawa kerumah sakit sama sekretaris papanya. Aku juga belum dikabari lagi sama dia papanya sakit apa".
"Ya kamu dong yang tanya, masa tunggu kabar dari dia", jawab nenek.
"Nek aku gak mau nanti dia terganggu. Biarin dululah dia urus papanya, nanti kalau aku yang hubungi dia bisa marah. Aku gk mau kita berantem untuk hal yang gak penting nek".
"Ya sudah kalau begitu. Kamu ganti baju sana, lalu buatkan minuman untuk temanmu".
"Oh gak usah repot nek. Lain kali aja aku mampir, udah mau sore nanti mama aku khawatir, nek. Soalnya aku belum bilang mau pulang terlambat, maaf ya nek". Marco menundukkan kepala didepan nenek Sandra.
"Ya udah nek, Sandra aku pulang ya. Sekali lagi maaf ya nek".
"Ya udah gak apa-apa, lain kali main kesini ya".
" Iya nek kalau ada waktu, aku gak bisa janji karena kuliah semester akhir ini banyak tugas dan bimbingan, nek".
"Ya udah, kamu hati-hati ya dijalan. Makasih sudah antar Sandra pulang dengan selamat. Salam buat mama kamu ya nak", ucap nenek.
"Ya nek sama-sama". Marco pulang, tetapi sepanjang jalan Marco berfikir ada apa dengan nenek Sandra yang melihat Marco seperti sudah pernah bertemu sebelumnya dengannya. Sampai dirumah, Marco menghubungi Louis dan menceritakan semuanya. Louis tidak percaya dengan keberanian sahabatnya yang mengajak makan siang sekaligus mengantar Sandra pulang.
"Hah?! Serius loe? Jangan bohongi gue loe Co".
"Ya udah kalau gak percaya, tanya aja besok sama Sandra tentang kebenarannya. Tapi jangan ada yang tahu, nanti jadi bahaya lagi".
"Ok, ok gue percaya. Emang sahabat gue ini selalu selangkah lebih maju dari yang gue duga. Hebat loe sumpah! Kalau gini kita udah dapat celah buat korek info tentang Mario dari dia, ya gak?" Marco terdiam mengingat gelagat Sandra tadi siang.
"Hallo Co. Marco..hallo Co. Loe masih disitu gak sih?"
"Ya Is, gue dengar kok. Gue sambil ganti baju, gerah soalnya".
"Oh, gue kirain loe tidur karena kecapean abis antar pulang bidadari dari kahyangan", Louis tertawa ngeledek sahabtnya.
"Apaan sih, bidadari. Udah ah gue mau bantu nyokap dulu, abis itu gue mau olahraga. Besok aja kita sambung ya".
"Ok bro".
Malam hari seperti biasanya, mama Marco memandang foto pernikahan dan membayangkan suaminya ada disini. Waktu menunjukkan pukul 1 pagi dan mama Marco tertidur lagi dikursi, tapi tiba-tiba ada suara seperti barang pecah didapur dan mamanya terbangun karena kaget. Prang!!!
"Suara apa itu? Marco? Kamu didapur nak?", tapi tak ada jawaban.
"Marco, Co". Tiba-tiba angin berhembus kencang diluar rumah ditambah dengan petir yang menyambar dan lampu padam.
"Loh kok mati? Gak biasanya begini". Cindy menyalakan senter dari ponselnya dan mencari lilin juga korek api. Ketika Cindy menghidupkan lilin, Marco berdiri tepat didepan wajahnya.
"Astaga, Marco! Ngapain kamu nak? Kamu lagi cari lilin ya? Bentar ya mama ambilin buat kamu".
"Gak usah ma, aku udah punya lilin. Mana korek apinya ma biar Marco aja yang hidupin dikamar Marco. Kalau gitu, Marco masuk kamar dulu ya ma, selamat malam".
"Malam". Mamanya heran, seperti ada yang aneh dari Marco. Gak biasanya wajah dia dingin gitu.
"Marco, kamu gak apa-apa nak? Kok kamu pucat? Kamu sakit ya? Sini dong sayang, mama lagi bicara sama kamu. Gak biasanya kamu begini. Co, nak ayo kasih tahu mama kamu kenapa? Kalau sakit besok gak usah kekampus dulu". Marco berbalik.
"Aku gak apa-apa ma".
"Tapi matamu merah".
"Maksud mama merah seperti ini?", Marco memejamkan mata dan membukanya. Seketika matanya berubah menjadi merah mengeriakan dan mengeluarkan darah dari matanya. Cindy kaget dan berteriak.
"Akhh..!! Marco, mata kamu kenapa? Kamu kenapa nak?".
Mendekati mamanya Marco berkata, "Mama mau tahu aku kenapa? Ok aku dekatin ke mama". Matanya terus mengeluarkan darah dan mamanya teriak memanggil nama marco tapi dia tidak dengar. Sepertinya Marco kerasukan, dia membuka lebar mulutnya dan tertawa, darah seketika mengalir deras dari sana.
"Marco, kamu kenapa nak? Jangan Marco, ini mama nak. Kamu kenapa sayang? Kenapa kamu jadi begini? Apa salah mama?"
Wajah Marco semakin mendekat dengan mamanya. Darah pun membasahi wajah Cindy, dia terus menangis melihat keadaan Marco. Akhirnya Cindy pun pingsan karena syok. Besoknya sewaktu makan malam Cindy tidak berani melihat wajah anaknya.
"Mama kenapa sih? Ada yang salah dari aku? Ngomong dong ma, jangan diam".
"Gak apa-apa Marco. Mama duluan ya, kamu beresin mejanya. Mama mau ke kamar dulu, mau istirahat karena kerjaan mama besok banyak", Cindy pergi dengan gelagat yang aneh, membuat Marco tanda tanya dengan mamanya.
Marco bertanya dalam hati, sebenarnya mama kenapa sih? Aku buat salah apa coba. Tiga hari lamanya, mamanya dingin padanya dan Marco benar-benar tidak nyaman dengan situasi ini. Ia pun nekat untuk meminta penjelasan atas sikap aneh mamanya.
"Ma, kita perlu bicara".
"Mau bicara apa Marco? Ngomong aja".
"Mama bisa gak sih stop kegiatan mama. Gak sopan kayak gitu ma, aku juga butuh dihargai sebagai anak".
"Kenapa kamu? Mama sibuk banget, kamu lihat kan?"
"Sesibuk apapun mama, gak pernah mama gini sama Marco, mama kenapa sih?"
Cindy membentak Marco. "Marco udah cukup!! Jangan kayak anak kecil, mama gak suka. Kamu mahasiswa tapi kelakuan kayak anak tk. Udah jangan ganggu mama, sana kerjain tugas kuliahmu". Marco tersinggung sekaligus sakit hati dan memutuskan pergi dan tidak mau peduli pada mamanya yang berubah tanpa sebab.
"Ok Marco pergi. Makasih buat sikap mama ke Marco. Jujur Marco kecewa".
"Maafin mama Marco, mama juga gak tahu kenapa mama lakuin ini sama kamu. Tapi 3 hari yang lalu kamu hampir membunuh mama. Tolong beri mama waktu sendiri".
"Co, loe kenapa sih? Masih pagi udah mau marah aja. Kenapa sih loe cerita dong sama gue".
"Gue sebel Is sama nyokap gue. Masa udah 3 hari dia ngehindari gue terus. Tadi malam juga gue tanya dia kenapa eh gue malah habis dibentak, katanya gue kayak anak kecil lah, sibuklah. Aakkhh..!!! Pusing gue tahu gak".
"Loh kok tante gitu yah? Mungkin loe ngomongnya nyinggung kali atau bercanda loe kelewatan? Bro, udah gue bilang kita berdua aja yang bercanda gak sopan. Jangan sama yang lain".
"Gue gak pernah bercanda gak sopan sama nyokap gue. Gak tahu kenapa dia kayak musuhin gue, Is".
"Ya udah ntar gue kerumah loe, bantu ngomong ke tante ya".
"Thank’s ya, Is".
"Santai bro".
Jam olahraga dimulai. Sandra buru-buru ke ruang olah raga dan dia membuka loker untuk mengambil baju olahraganya dan tanpa disadarinya Sandra menjatuhkan sesuatu yang mana itu adalah potongan foto yang mereka cari. Cleaning service yang menemukannya lalu membuangnya ke tong sampah kampus.
"Eh Is, gimana sama potongan foto itu udah ada kemajuan gak?"
"Belum Co, susah. Seperti mencari jarum ditumpukan jerami, harus sabar dan banyak doa".
"Eh loe mau langsung pulang?"
"Gak lah, kan mau ngobrol dulu sama nyokap loe. Gue juga udah kirim WA ke mama gue mau main kerumah loe, tapi pulangnya jangan kesorean, biasalah papa".
Tiba-tiba Marco melihat penjaga perpustakaan yang sedang berada ditaman menyendiri.
"Is, itukan penjaga perpustakaan kita kan?"
"Mana?"
"Itu yang lagi duduk menyendiri ditaman. Ngapain ya dia?"
"Kita susul aja gimana?"
"Jangan Co. Setelah kejadian waktu itu dia jadi dingin sama kita. Udahlah kita biarin aja ya".
"Kita pantau dari sini aja Is, siapa tahu kita temukan jawabannya".
"Jawaban apa Mr.Marco..?? Eh gue kasih tahu ya kita lama-lama mandang tuh penjaga perpustakaan sampai lebaran monyet juga kagak ada faedahnya. Dia cuma mau jernihkan pikiran aja karena penat seharian kerja Marco. Udah ah, ayo cabut. Gue ntar kesorean pulangnya".
"Bener nih gak mau kita pantau dulu?", kata Marco.
"Udah gak usah. Biarin aja, sekarang nyokap loe yang penting".
Penjaga perpustakaan yang sedang termenung itu mengingat kejadian tahun lalu, dimana Silvi dirundung oleh Mario dan yang lain. Silvi gadis sederhana yang cantik dan polos dimanfaatkan oleh Mario sampai hamil dan Mario tidak mau bertanggung jawab. Dia mengatakan bahwa itu bukan ulahnya, malahan dia mengatakan Silvi adalah wanita murahan yang mau tidur dengan siapa saja.
"Mario...Mario...tunggu!", Silvi mengejar Mario.
"Apaan sih loe?! Lepas gak?"
"Gak. Gue gak mau lepasin loe. Loe gak bisa lari gitu aja dari gue, karena loe harus tanggung jawab. Gue cuma lakuin ini sama loe karena loe janji bakal tanggung jawab sama gue. Sekarang gue tagih janji loe, jangan jadi pengecut".
Mario marah tak terima ucapan Silvi. "Apa loe bilang? Pengecut? Berani loe ngatain gue pengecut?", Mario menampar dan memukuli Silvi. Tak lama kemudian Sandra dan yang lainnya datang.
"Kenapa Mario? Dia buat masalah apa sama loe?", Sandra bertanya pada Mario dengan Silvi yang masih terduduk di tanah.
"Nih cewek kampung bikin gue sebel aja. Dia maksa gue buat tanggung jawab sama anak yang diperutnya. Udah gue bilang bukan gue yang lakuin. Udah deh loe butuh uang berapa gue kasih. Jangan kayak gini. Dari awal kita cuma senang-senang aja kan. Loe mau gue mau, udah gitu aja".
"Emang loe udah tes dna? Siapa tahu emang bukan Mario ayah biologis anak loe. Ambil uangnya dan anggap loe gak pernah kenal sama dia. Mana uangnya?". Mario memberi uang yang banyak pada Sandra dan dia melemparkan uang itu tepat diwajah Silvi.
"Ambil! Ayo buruan ambil!! Itu harga yang sangat pantas buat loe. Ya hitung-hitung buat biaya lahiran loe nanti. Inget ya Mario sama gue ngulang gara-gara loe gak bisa selesaikan skripsi itu dan sekarang loe minta Mario tanggung jawab? Udah gila loe ya?! Ambil uangnya dan pergi dari sini, buruan!!"
"Anak gue gak butuh uang, gue cuma butuh tanggung jawab dari Mario. Dia ayah anak ini, loe jangan ikut campur loe cuma temen senangnya dia aja gak lebih".
Sandra marah mendengar ucapan Silvi. "Apa loe bilang?" Plaakkkk!!!!! Sandra menampar pipi Silvi sampai berdarah.
"Bangsat loe ya, loe pikir loe siapa? Loe gak kenal sama gue. Berani loe ngatain gue kayak gitu, dasar pelacur murahan loe!!!" Sandra marah besar dan menjambak Silvi yang kemudian dilerai oleh Mario.
"Udah. Loe apaan sih. Kita pergi aja dari sini".
Mereka pergi meninggalkan Silvi, diikuti yang lainnya. Penjaga perpustakaan yang melihat hal itu merekam di ponselnya. Kejadian itu terjadi di atas gedung kampus. Dia yang baru selesai merapikan buku pulang dan melihat ada 2 orang yang sedang bertengkar dan dia pun diam-diam membuntuti sampai keatas, kemudia merekam kejadian itu. Silvi menangis dan sewaktu mereka turun, penjaga perpustakaan itu sembunyi dan melihat Silvi berjalan seperti orang gila. Dia tertawa berjalan sempoyongan. Dia memutuskan untuk berdiri diatap gedung dan mengakhiri hidupnya. Namun, sebelum mengakhiri hidupnya Silvi berkata.
'Mario sebenarnya anak kita udah lahir. Gue tahan sampai loe lulus. Gue gak bisa selesaikan skripsi loe karena gue melahirkan anak kita dan gue ambil cuti 9 bulan dengan alasan ibu panti asuhan gue sakit keras. Padahal semuanya bohong dan gue juga udah bohongin sahabat gue. Gue sengaja ganti nomer biar dia gak tahu kita masih ada hubungan karena aku tahu, Chika gak pernah suka sama loe. Kita gak bisa komunikasi karena gue mau kasih kejutan sama loe. Gue pikir loe mau nikahin gue tapi loe buang gue gitu aja. Loe sama aja kayak yang lain, gue gak bisa maafin perbuatan loe. Gue gak sanggup nanggung semuanya. Gue akan akhiri penderitaan ini dengan cara gue sendiri'.
Silvi mati karena loncat dari gedung kampus. Sontak penjaga perpustakaan yang melihat itu berdiri kaku. Darahnya turun dan segera dia turun, berpura-pura minta tolong tidak sengaja melihat Silvi loncat dan mendengar pertengkaran Mario serta Sandra.
"Tolong...tolong...", penjaga perpustakaan itu berteriak dan mengejar Mario.
"Tolong. Mario tolongin ibu".
Mereka kaget dan Sandra bertanya. "Ada apa bu?"
"Kalian tolong ibu. Ada mahasiswi yang loncat dari gedung. Ayo tolong dia. Kita bawa ke rumah sakit".
Mereka kaget. Jangan-jangan....
Mereka berlari dan kaget melihat orang itu sudah bersimbah darah.
"Mario ini Silvi".
Teman Mario membalikkan badan Silvi.
"Aku gak akan maafin kamu. Kamu harus bayar perbuatanmu Mario", Silvi meninggal. Tapi tetap dibawa ke rumah sakit dengan harapan dia bisa tertolong.
"Dokter gimana? Apa dia masih ada harapan?", tanya Mario.
"Maaf. Teman kalian sudah meninggal sebelum dibawa kesini", semuanya kaget.
"Apa? Meninggal? Dokter tolong periksa lagi tadi dia masih bicara sama kami tapi gak jelas. Dokter pasti salah kata".
"Mario maaf kami sudah melakukan banyak cara. Permisi". Tim medis pun pergi.
"Akhhh....!!!!! Ini semua gara-gara loe San. Kalau loe gak ikut campur sampai nampar dan jambak dia, gak akan begini jadinya. Sekarang gue gimana ngomong sama bokap, bisa mampus gue".
"Kok loe nyalahin gue?", Sandra marah tak terima ucapan Mario.
"Ini semua salah loe. Kalau loe gak hamilin dia dan ngasih uang sebagai gantinya perbuatan loe, gak bakal gini jadinya. Enak aja loe nyalahin gue".
"Udah diem loe pada", Marvel melerai tapi dia tidak mendengar apa yang mereka bicarakan.
"Loe loe pada harus urus dan tutup ini rapat-rapat. Jangan sampai ada yang tahu dan andam.. jangan sampai anda buka mulut", kata Marvel ke penjaga perpustakaan.
"Anda paham?"
"Paham gak loe?", ucap Mario marah.
"Ya saya paham".
"Ingat ya, kejadian ini hanya kita aja yang tahu. Sekarang loe hubungi keluarganya dan kita pergi dari sini. Kalian main ke kampus, biar gue aja yang urus semuanya. Gue bakal bayar semua yang udah anda lakukan hari ini".
"Gue aja yang bayar", kata Mario.
"Berapa nomor telp loe?" Vivi memberikan no teleponnya pada Mario dan Mario mengirim no telepon Chika sahabat Silvi.
"Itu no telepon Chika, sahabatnya Silvi. Loe tetap tutup mulut, kalau gak loe bakalan gue tendang dari kampus, ngerti loe!"
"Ya saya mengerti".
" Kirim no rek loe biar gue transfer biayanya besok. Itu no telepon gue. Bilang aja loe gak tahu apa-apa. Awas aja kalau loe sampe kelepasan. Kita pergi dulu, jangan lupa hubungi Chika, yok cabut".
Mereka pun pergi. Dijalan Mravel bertanya pada Mario. "Emang tuh cewek kenapa sampai bunuh diri? Gue cuma dengar Sandra salahin loe karena loe buat dia bunuh diri". Mereka kaget dan Vando yang menjelaskannya.
"Dia cinta mati banget sama Mario, tapi ditolak jadi ya gini deh".
"Emang lebay tuh, cewek. Ada aja kelakuannya, udah mau lulus gini".
Vivi menelepon Chika dan betapa terkejutnya Chika mendengar kabar itu. Dia langsung ke rumah sakit melihat keadaan Silvi.