Mimpi buruk muncul. Dalam mimpi itu Marco melihat seorang anak kecil berteriak meminta tolong karena ada seorang wanita yang ingin bunuh diri. Anak kecil itu melihat Marco dan menarik tangannya dan berkata,
"Tolong paman selamatkan wanita itu".
Marco tidak paham apa yang terjadi disitu. Banyak orang berjalan melewati anak kecil itu dan wanita yang mau bunuh diri itu, tapi tidak ada seorangpun dari mereka punya niat untuk menolong wanita itu. Tatapan tajam mereka penuh amarah, kesal dan benci yang menjadi satu. Marco tidak mengerti sama sekali kenapa mereka tega membiarkan wanita dan anak itu disini seolah mereka tidak melihat wanita dan anak itu seperti tidak tahu apa yang terjadi di depan mereka. Marco berteriak pada wanita itu.
"Tunggu! Jangan melompat. Aku akan kesana!"
Tapi sewaktu Marco berlari ingin menyelamatkan wanita itu ada tangan seorang pria yang menahan langkahnya. Pria itu berkata,
"Jangan ikut campur. Kau tidak tahu apa-apa tentang dia dan anak itu!"
Marco mencoba untuk melepaskan tangannya, tapi pria itu tak mau melepaskan genggamannya hingga Marco tidak bisa menyelamatkan wanita itu. Sewaktu Marco berhasil melepas tangan pria itu wanita tadi sudah meloncat dan akhirnya mati. Semua orang yang ada disana tersenyum, bahkan tertawa bahagia seolah bersyukur karena wanita itu telah mati. Marco meminta maaf pada anak kecil yang sedang menangis itu.
"Maaf paman terlambat".
Anak kecil itu berbalik dan menatap dengan wajah menyeramkan.
"Ini semua salahmu! Kau tidak mau menyelamatkannya!"
"Bukan, kamu salah paham. Aku hendak berlari menolong wanita itu, tapi pria itu menahanku".
Marco menunjuk ke arah tempat dia melihat pria itu, namun tidak ada siapapun disana. Anak kecil itu berkata,
"Kau pembunuh! Kau membunuh ibuku! Kau harus bertanggung jawab!"
Marco kaget, tiba-tiba wanita itu berjalan merangkak kearahnya. Marco berusaha pergi tapi tertahan oleh anak itu. Dia memegang kaki Marco lalu menarik kakinya sampai Marco terjatuh. Wanita itu semakin cepat mengejarnya. Karena tak tahu harus berbuat apa, akhirnya Marco terpaksa menendang tubuh anak kecil itu lalu dia berlari menyelamatkan diri. Marco terbangun dengan tubuh penuh keringat. Dia melihat jam yang ada disamping tempat tidurnya yang ternyata masih menunjukkan pukul 5 pagi. Karena masih terlalu pagi dan Marco tidak bisa tidur lagi maka, dia memutuskan untuk berolahraga.
"Kenapa gue bisa mimpi aneh kayak gitu ya? Siapa sebenarnya wanita dan anak kecil itu?", tanyanya dalam hati.
Saat di kampus.
"Woy kutu buku! Ngapain loe? Sini lah senang-senang bareng kita. Loe mau yang mana? Ambil aja ntar gue yang bayar. Loe kan orang susah, mana ada uang loe buat senang-senang". Mario tertawa dengan yang lainnya.
Mario adalah seorang anak pengusaha mebel dan properti terkenal di ibu kota, dan dia memang selalu dikelilingi oleh wanita cantik dan teman yang banyak karena dia sanggup membayari apapun yang mereka inginkan dengan uang papanya. Ditambah lagi papanya punya saham 80% di kampus tempat Mario kuliah. Itu sebabnya dia selalu sepele dengan orang tidak mampu seperti Marco.
"Sorry gue gak minat. Loe nikmatin aja hidup loe".
Marco bicara membelakangi Mario dan langsung pergi meninggalkan kantin. Sandra si gadis centil dan sexy itu mengerutkan keningnya dan berkata pada Mario,
"Kok dia gitu sih? Gak sopan banget! Kamu gak marah apa digituin sama dia? Kamu kan anak orang terpandang".
"Loe tenang aja San. Gua bakal buat dia nyesel udah perlakuin gue kayak gitu".
Dengan wajah penuh amarah dan tangan dikepal, Mario menatap tajam ke arah Marco yang sukses mempermalukannya.
"Pergi kemana dia?"
"Eh Louis! Kemana si kutu buku itu, hah? Gue ada urusan sama dia".
Mario bertemu Louis di luar kelas dan Louis menjawabnya dengan ketus.
"Gak tahu gue siapa yang loe maksud. Emang ada murid kampus ini namanya kutu buku?"
"Kutu buku yang gue maksud itu sahabat loe si Marco itu".
"Oh Marco", jawab Louis
"Ya mana dia?"
"Gak tahu. Gue gak lihat dari tadi", jawab Louis sambil membuang muka.
"Loe ya, gue nanya bagus-bagus jawabnya kayak gitu. Emang loe cocok banget berteman sama dia. Sama-sama gak ada sopan santunnya. Tau gak loe!"
Melihat Mario dengan wajah sebel, Louis berkata,
"Gak ada sopan santun? Bukannya loe duluan ya, yang gak sopan sama Marco? Namanya Marco, bukan kutu buku. Lagian loe kenapa sih suka banget cari masalah di kampus ini. Eh Mario, gue kasih tahu ya, loe itu udah ngulang, jadi jangan cari masalah. Masa loe mau ngulang lagi tahun ini. Gak malu apa loe? Emang si Marco salah apa sampe loe sebel banget sama dia hah? Salah apa coba? Pasti loe sama temen-temen loe kan yang cari masalah duluan".
Mario marah mendengarnya dan menarik baju Louis.
"Apa loe bilang? Ngulang? Darimana loe tahu gue ngulang? Siapa yang kasih tahu loe?", dengan nada pelan seperti berbisik agar tidak didengar oleh semua orang.
Louis membalas. "Gue peringatin ya. Loe jangan macam-macam sama Marco. Jangan ganggu Marco. Atau si Sandra dan yang lainnya akan ikut kena imbasnya karena mereka yang dekat sama loe". Mario melepaskan tangan Louis.
Dosen mengajar di depan kelas dan memberikan tugas akhir semester. "Oke silahkan kalian kerjakan tugas ini dengan teliti. Karena ini adalah tugas yang akan menjadi nilai semester kalian tahun ini. Waktu kalian cukup banyak jadi saya harap tidak ada yang sama tugasnya. Baiklah, kita sudahi pertemuan kita hari ini. Saya ada tugas ke luar kota nanti akan saya beritahu kapan saya kembali, agar kalian bisa menemui saya untuk menanyakan perihal tugas yang saya beri pada kalian. Apa ada yang ingin ditanyakan?’’
"Oh ya, kalian juga akan mendapatkan penghargaan dari hasil kerja keras kalian. 5 orang terbaik dari kelas ini yang terpilih mendapatkan hadiah dari kampus. Jangan berusaha mencari tahu apa hadiahnya karena hanya saya dan pihak kampus yang tahu. Kerjakan dengan tekun dan teliti maka hadiah akan menjadi milik kalian. Untuk Mario saya peringatkan kamu dan teman-temanmu untuk bersikap jujur dan sportif dalam tugas ini, agar kamu bisa lolos tahun ini. Kalau kalian gagal, kita akan bertemu lagi tahun depan, paham kamu?"
"Paham pak", jawab Mario.
"Co, loe abis ini mau kemana?", Louis bertanya pada sahabatnya.
"Gue mau ke perpustakaan cari bahan buat tugas tadi, loe?"
"Gue mau cari bahannya juga, tapi gak tahu mau buat apa. Emang loe udah tahu mau buat apa?"
"Udah dan itu rahasia".
"Ya elah loe pelit banget sih. Sama sahabat sendiri aja pake rahasia-rahasiaan. Kasih tahu dong.. dikit aja ya, please…", Louis menunjukkan wajah memelas.
"Apaan si loe? Biasa aja dong". Marco mengibaskan tangannya di depan Louis.
"Udah ayo ikut gue biar loe dapat pencerahan".
Sampai di perpustakaan Marco dan Louis mencari bahan dan mereka meminjam buku yang cocok untuk tugas mereka, lalu mereka duduk di taman sambil lanjut bahas tugas yang diberi dosen mereka tadi. Namun tiba-tiba, Mario datang dan merusak suasana.
"Ngapain loe berdua? Jangan-jangan...."
"Apaan sih loe! Ganggu aja. Mending loe pergi deh sekarang, kayak gak punya teman aja loe", Louis bicara sambil berdiri menghadap Mario.
"Apa loe bilang? Gue gak punya teman? Sejak kapan Mario gak punya teman? Jaga ya omongan loe!", ujar Mario dengan kesal.
"Eh kutu buku! Loe kenapa gak minta maaf sama gue?"
Marco mengerutkan keningnya. "Maaf? Buat apa? Emang gue salah apa sama loe?"
Mario marah besar karena Marco pura-pura tidak tahu atas perbuatannya tadi pagi.
"Loe lupa kejadian tadi pagi? Loe udah permalukan gue di depan anak-anak sekelas, tau gak?"
"Oh soal itu, emang penting banget yah? Trus, kalau gue gak minta maaf loe bakal kenapa? Mati? Gak kan... Udahlah ngapain ngurusin yang gak penting".
"Gak penting??? Sama gue itu penting! Sepanjang sejarah gue, belum ada yang berani mempermalukan gue kayak tadi pagi. Ayo cepat minta maaf sama gue. Buruan!" Mario tambah marah karena Marco tidak mau minta maaf padanya.
"Males ah. Yuk Louis kita pindah aja. Gak guna juga ngeladenin orang kayak dia".
Mario menjegat mereka. "Mau kemana loe? Benar gak mau minta maaf? Loe bakal nyesel ntar".
"Emang loe mau apa sama gue. Mau ngadu sama bokap loe yang kaya raya itu? Wajar sih ya anak papi kayak loe gak bisa hidup tanpa bantuan papi loe".
Mario pun marah dan sangat ingin memukul Marco.
"Apa loe bilang?!" Saat hendak memukul Marco, tangan Mario ditahan duluan oleh Louis.
"Sialan! Berani loe sama gue?! Awas aja loe, masalah ini akan panjang. Gue gak akan biarin loe dengan tenang lulus dari kampus ini".
Mario melepaskan tangannya dari Louis. "Apaan si loe! Lepasin!"
Lalu Mario menunjuk ke Marco. "Awas aja loe. Tunggu pembalasan dari gue. Mati loe ditangan gue".
Mario meninggalkan Marco dan Louis.
"Sebenarnya ada apaan sih Co? Kok loe bisa berurusan sama manusia kayak dia? Coba loe cerita”.
Marco menceritakan kejadian tadi pagi dan Louis mengerti kenapa sahabatnya membalas Mario begitu.
“Gue mau bimbingan sebentar sama dosen akademis, bentar aja”, kata Louis.
“Oh, ya udah”.
Louis pun pergi. Tapi, tak lama kemudian Louis berlari kencang menemui sahabatnya karena tidak jadi bimbingan.
“Co…. Marco…. Aduh capek. Ntar, gue atur nafas dulu”. Marco memberi sebotol air mineral.
“Minum nih biar loe tenang. Ngapain sih lari-lari? Kok cepat? Katanya bimbingan”.
“Itu yang mau gue bilang. Gue gak jadi bimbingan makanya gue lari temui loe biar kita barengan. Tapi, gue ke toilet dulu ya loe tunggu gue di perpustakaan aja. Udah gak tahan ini, Ok?”
“Ya ok. Gue duluan. Sini tas loe gue bawain, ntar karna terburu-buru berjatuhan lagi isinya”.
Louis memberi tasnya untuk dibawa Marco. “Ini Co, makasih ya. Gue ke toilet dulu”.
Marco sampai di perpustakaan. Tiba-tiba dia merasa ngantuk. Marco tertidur di perpustakaan dan bermimpi. Dalam mimpinya dia bertemu wanita itu lagi tapi wajahnya kurang jelas.
“Maaf mba, permisi. Ada yang bisa saya bantu?”.
Marco menyentuh pundak wanita itu dan wanita itu pun berbalik. Wajahnya begitu menyeramkan dan menunjukkan ekspresi marah pada Marco.
“Kenapa kamu tinggalin aku?! Kenapa kamu biari aku mati!!”.
Marco kaget dan terbangun dengan tiba-tiba.
"Kenapa gue bisa mimpi kayak gitu sih? Siapa sebenarnya wanita itu?", tanya Marco dalam hati dengan wajah heran.
Tiba-tiba Louis datang menepuk pundaknya.
"Woy!!!”. Teriak Louis dengan pelan namun membuat Marco kaget.
“Loe udah selesai dari toiletnya?”, tanya Marco.
“Kenapa loe Co? Kok kayak orang ketakutan gitu?”.
“Gak apa-apa kok. Yuk balikin buku”.
“Ayo”.
Marco terus berfikir mimpi aneh tadi, lalu bertanya pada sahabatnya.
“Is, loe pernah mimpi aneh gak? Atau ngalamin hal yang aneh, yang misterius gitu”.
Louis merasa heran mendengar sahabatnya bertanya seperti itu.
“Misterius? Kalau misterius gak pernah. Tapi kalau mimpi aneh atau serem pernah. Emang kenapa?”
“Gak sih gue cuma nanya doang”, jawab Marco.
“Co, loe ntar pulang bareng sama gue ya. Loe gak bawa motor kan?”
“Boleh. Tapi, kenapa loe gak bimbingan? Dosennya kemana?”
“Dosennya ada urusan mendadak, jadi minggu depan bimbingannya. Sekalian ajuin judul skripsi. Kebetulan dia dosen pembimbing pertama gue buat skripsi. Loe gimana? Belum ada kabar?”
“Belum, karena yang lain juga belum tahu judul apa yang mau dibuat”.
“Eh Co. Loe bisa gak datang kerumah gue sekarang? Nyokap gue mau ketemu sama loe. Dia penasaran sama loe. Kan gue pernah cerita tentang persahabatan kita sama nyokap”.
“Boleh tapi gue telpon mama gue dulu ya bentar”. Marco minta ijin dan mamanya Marco mengijinkannya.
“Ok gue boleh kerumah loe, tapi dalam rangka apa nih gue diundang kerumah loe?”
“Gak dalam rangka apa-apa kok, cuma mau kenal aja nyokap gue sama loe. Bentar gue ambil mobil dulu ya. Loe tunggu disini”.
Louis pergi ke parkiran mobil dan datang lagi menghampiri Marco sambil membunyikan klakson mobilnya.
“Marco ayo!”
Sepanjang perjalanan mereka membahas tugas yang diberi dosen, tapi pikiran Marco masih tentang mimpi aneh itu.
“Woy Co. Kenapa loe?” Marco kaget.
“Eh, kenapa Is? Loe ngomong apa tadi?”
“Loe kenapa sih Co? Kok gak fokus? Gue perhatiin mulai dari perpustakaan tadi sikap loe aneh banget. Kenapa sih loe? Ayo dong cerita sama gue, kan kita bukan hanya sebatas sahabatan, tapi udah kayak saudara. Gue udah nganggap loe seperti abang gue sendiri. Loe kenapa Co?”
“Ntar aja ya Is. Sampai dirumah loe, gue ceritain semuanya”.
“Janji ya”, kata Louis.