Aku sendiri tak tega ketika mendengar permintaan dari nenek. Jika beliau tingggal di rumah itu, siapa yang akan merawatnya? Setahuku, rumah itu sudah kosong beberapa tahun yang lalu.
“Nek, aku antar ke tempat keluarga Bunda. Biar nenek gak sendiri dan bisa melihat banyak anak kecil.” Nenek entah berpikiran apa kali ini. Dia hanya bisa terdiam begitu lama. Aku sendiri tak bisa memaksa kehendak. Jika nenek tidak berkenan, aku tidak kuasa memaksanya.
“Kalau Nenek tidak berkenan, aku tidak memaksa.” Nenek masih terdiam.
“Apa yang Reno katakan ada benarnya Bu. Bagaimanapun, Mas Haidar belum menceraikan Mbak Agni. Insya Allah Ibu akan diterima di sana.”
“Tapi Bagas…”
“Ibu, aku sudah mengenal keluarga besar dari Mbak Agni. Memang iya, mereka masih ada rasa sakit hati dengan Haidar. Tapi, melihat bagaimana tulusnya sayangmu pada sosok Agni, saya rsa mereka tidak ada alasan untuk membencimu.” Nenek sendiri akhirnya mengiyakan ajakan kami. Terlihat pak Haidar masih berdiri mematung. Tak ada kata yang ingin dia ungkapkan.
Terlihat jika mereka merasakan tekanan mental. Aku sendiri tak kuasa untuk melihat nenek tertekan mental seperti ini. Sejak kejadian tadi pagi terjadi, video uitu dengan cepat menyebar di media sosial. Nenek yang sudah tertekan karena dicap sebagai seorang ibu yang gagal, harus merasakan lagi trekanan akibat ulah dari menantunya. Menantu yang begitu arogan juga serakah.
Aku akhirnya mengantarkan nenek pergi ke tempat keluarga besar dari Bunda. Terlihat, Kak Bagas yang entah berbicara apa dengan Pak Haidar. Aku tak invgin menguiping pembicaraan mereka.
“Nek, kenapa Nenek menangis?”
“Aku sudah jadi ibu yang gagal. Aku sudah membiarkan seorang perempuan mendapatkan kedholiman dari anakku sendjri.” Air mata itu terus berjatuhan. Aku menenangkan nenek.
Sesampainya di rumah, aku sendiri langsung bertemu dengan Paman. Dialah yang akhirnya mengizinkan nenek Fatimah untuk tinggal di rumahnya.
“Kalian tidak marah?”
“Yang salah itu Haidar, bukan ibunya. Saya ngerti, Ibu waktu itu berusaha mempertahankan Agni agar tetap berada di rumah itu.”
Mereka memberikan kehangatan. Jarang aku melihat kehangatan seperti ini. Sejak Bunda meninggal, aku hidup di panti asuhan. Keluarga besar bukanya tak mau membantuku. Mengingat kondisi perekonomian mereka yang berada di kalangan ke bawah, membuat mereka mau tak mau menyerahkan aku di panti asuhan.
“Reno, ada apa?”
“Gak ada Paman.”
“Gak usah bohong! Paman tau ada sesuatu yang mengganjal hatimu.” Aku sendiri tak berdaya mengingat semua yang ad di masa lalu. Aku menangis sejadi-jadinya.
“Reno, jangan memnangis Nak!” Nenek mendatangiku dan langsung memelukku. Tulusnya kasih sayang darinya membuat aku mersa Bunda kembali hadir di sampuingku.