“Mas, aku ingin cerita bagaimana masa kecil Reno.” Lelaki setengah baya itu mendengar ceritaku dengan seksama. Reno kecil terpaksa harus dititipkan ke panti asuhan karena keterbatasan biaya dari saudara ibunya. Terlihat Haidar hanya bisa diam mendengar apa yang aku ceritakan.
Dia tampak tak berdaya. Aku tau, ketidak berdayaan dari lelaki ini karena kelicikan dari keluarga jalang. Siapa lagi kalo bukan keluarga Aisyah si pelakor itu? Mereka begitu pandainya bersilat ludah sehingga semua yang dia bicarakan membuat orang lain dengan mudahnya percaya. Tapi, untuk semua orang yang pernah menjadi korban seperti aku misalnya, cara itu sama sekali tidak berefek. Aku sama sekali tak bisa dipengaruhi oleh kelicikan manusia seperti Halimah dan Aisyah.
“Bagas, bebaskan aku. Aku sama sekali gak berdaya jika menghadapi keluarga itu.” Aku sendiri hanya tersenyum sinis. Dia sekarang meminta tolong padaku? Apakah aku hanya bermimpi? Atau, dia sudah kerasukan setan macam apa begitu?
“Selama ini kau kemana? Aku beberapa tahun harus jadi pembantu di rumah ini kau juga tak memperhatikanku. Kau anggap aku hanyalah babu. Kau juga berlagak seperti orang yang begitu penting kan?”
“Bagas, aku sama sekali gak berdaya.”
Aku hanya bisa terdiam. Setelah Reno pergi mengantarkan sang nenek, aku dan lelaki ini hanya berdua di ruangan sebesar ini.
Mengingat masa kecil yang sama sekali tak dianggap oleh keluarga besar, membuatku semakin ingin menumpahkan amarah. Apalagi, sering kulihat Reno yang hidup begitu memprihatinkan. Untung saja ada orang baik seperti pamannya yang menyerahkan mereka ke panti asuhan yang cukup layak.
Aku mengerti, bukan maksud sang paman tak mau merawatnya. Kondisi paman Reno saat itu juga kesulitan secara ekonomi yuang membuatnya terpaksa melakukan hal semacam itu. Aku yakin, pamannya Reno begitu menyayanginya layaknya anak sendiri.
“Alhamdulillah dia bisa hidup layak walaupun di panti asuhan.” Haidar tampak sedih. Bu Fatimah pasti sangat tertekan dengan perbuatann sang anak juga apa yang terjadi dengan anak orang yang sama sekali tak berdosa.
“Banyak orang yang menyerang mama Anda. Jujur, saya sebenarnya gak terima. Kenapa dosa seseorang harus dikaitkan pada orang lain. Aku yakin, Bu Fatimah sudah melaksanakan tugasnya sebagai seorang ibu dengan baik. Tapi, kenapa Anda tega berbuat seperti itu?” Haidar masih terdiam. Hanya suara tangisan yang terdengar kali ini.
Tak lama, Halimah sendiri pulang. Dia tampak marah dan langsung menyerangku tanpa aba-aba. Aku tau apa yang memnbuatnya semarah ini. pasti karena kejadian tadi pagi.
Amarahku tak bisa kubendung. Dia mengataiku dengan amarah dan caci-maki. Itulah yang dia bisa sepanjang hidupnya. Mencaci dan langsung menuduh orang. Padahal, jika dilihat dia yang memulai terlebih dahulu.
“Bagas, berani kau sama aku? Berani kau sama kakakmu sendiri?”
“Kenapa aku harus takut? Alasan apa yang membuat aku harus takut denganmu dan keluargamu?” aku lanjut menyerangnya dengan begitu santai.
“Apa kau tak tau aku anak dari siapa?”
“Bagiku, kau adalah anak dari pelakor. Gak lebih.”
Mbak Halimah kembali menyerangku secara brutal. Dia ingin menang sendiri. Dia tak peduli dengan apa yang aku radsakan selama ini. Aku harus menjadi pembantu di rumahku sendiri.