“Mas Reno, jangan seperti itu! Turunkan cambuk itu! Tidak baik kalau Mas berperilaku seperti itu pada papa sendiri.” Seorang mantan ART yang kebetulan lewat langsung mendekati Reno dan berusaha menenangkan pemuda itu. Tapi, usaha itu tampaknya sia-sia. Tanpa berpikir panjang, cambuk itu langsung dia layangkan ke udara. Suara itu menggelegar dan membuat kedua orang yang ada di hadapannya terdiam.
“Mbok, sekali lagi aku bilang, aku bukan anak dari lelaki ini. Sejak aku dilahirkan dia tidak mengakui diriku sebagaoi anak karena keterbatasanku. Jadi, jangan pernah sekali-kali bilang, kalo aku adalah anak dari lelaki ini!” Cambuk itu kembali beraksi. Haidar sendiri hanya bisa menangis dengan apa yang Reno lakukan.
“Mas Reno.”
“Mbok, aku selama ini harus tinggal di panti asuhan. Kau tau sendiri dia selama ini hidup bergelimang harta. Tapi Mbok tau sendiri, aku tinggal di tempat itu dengan segala keterbatasan. Dia juga yang membuat mendiang ibiuku harus menderita di akhir hayatnya.” Sekali lagi sebuah pecutan Reno layangkan ke udara. Dia tak kuasa menahan tangis mengingat apa yang pernah terjadi pada mendiang ibunya.
“Asal Mbok tau saja, istrinya sudah berani membuat nenek terluka. Dia juga melukai bibiku.” Reno ingin sekali melayangkan sebuah pecutan ke udara. Sebelum itu terjadi, wanita itu menahan Reno agar tak lagi melakukannya.
“Cukup Mas Reno. Cukup! Turunkan cambuk ini! Mbok mohon, jangan lagi seperti ini.” Reno sontak menangis dan langsung duduk dalam kondisi lemas. Wanita itu mengerti apa yang terjadi selama ini pada pemuda itu.
“Nenek sedang sakit Mbok. Dia tertekan dengan apa yang terjadi. Banyak tetangga yang bilang kalau nenek sudah gagal mendidik seorang anak. Nenek sekarang harus diam di atas tempat tidur. Dia kemana-mana harus memakai kursi roda.” Reno menjeda perkataannya. Dia menangis sejadi-jadinya melihat kondisi sang nenek yang menjadi begitu lemah.
“Tadi pagi nenek ingin ziarah. Tapi di tengah perjalanan, dia dapat penghadangan dari menantunya. Nenek ingin dilukai oleh wanita itu Mbok. Bahkan bibi Lina sendiri juga ikut dilukai.”
“Mas Reno, sekarang kau temui Bu Fatimah ya! Sejak tadi sore dia terus mencarimu. Dia terus menyebut kamu Nak. Mbok antar ke sana ya. Barang kali beliau bisa baikan jika kau temani.” Reno sendiri hanya bisa mengiyakan. Salah seorang langsung mengajaknya memasuiki sebuah bombil.
“Maaf Pak Haidar. Apa yang dikatakan oleh Reno itu benar adanya. Nyonya Halimah sudah berani melukai ibnumu sendiri. Apa kau tega melihat ibumu yang sudah tua itu diperlakukan seperti itu?” Haidar hanya bisa diam dan syok mendengar apa yang terjadi kali ini.
“Apa yang aku harus lakukan?”
“Saya yakin Bapak lebih tau apa yang harus Anda lakukan. Saya gak mau kalau ananda terus seperti ini. Dia sudah kecewa dengan apa yang Anda lakukan beberapa tahun terakhir.”
Wanita itu pergi. Dia harus segera menuju tempat Fatimah terbaring. Haidar sendiri langsung puilang dan siap menumpahkan semua amarah itu pada sang istri. Sesampainya di rumah, dia langsung memanggil Halimah dengan kasar.
“Halimah, keluar kau! Kau harus bertanggung jawab atas apa yang kau perbuat!” Apa yang baru Haidar katakan membuat seisi rumah langsung keluar dan mencari tau apa yang terjadi, tak terkecuali Keisya.
“Mas Haidar, ada apa ini? Kenapa kau langsung marah saat baru pulang?”
“Aku mau Halimah. Kau tau dimana dia?”
“Dia ada di ruangannya Bu Aisyah.” Tanpa memberikan jawaban, Haidar langsung menuju ruang itu. Benar saja, Halimah bersama sang ibu sedang bicara entah apa. Melihat sanbgt suiami pulang Halimah langsung ingin menyambutnya, tapi Haidar sendiri masa bodoh dengan tingkah Halimah tyang sok polos.
“Jangan sok polos! Aku tanya, kau apakan Mama?” Halimah sendiri terkejut dan bingung harus menjawab apa.
“Katakan! Jangan diam saja. Kau apakan Mama?”
“Maaf Mas, apa maksudmu? Aku tidak_”