“Papa, apa kabar?” Bagas sendiri yang pulang ke rumah Samsir langsung masuk dan melihat sang papa yang tak lagi mampu berjalan. Dia sendiri melihat semua barang yang ada di rumah ini. Hanya dengan kursi roda dia beraktivitas. Setelah kejadian Samsir dibawa ke tempat penyekapan itu, kondisi kesehatannya semakin memburuk. Terlihat jelas jika beberapa barang baru saja dibeli entah oleh siapa.
“Vas bunganya cantik. Baru beli ya Pa?” Samsir sendiri mengiyakan. Melihat sang anak yang tak lagi marah-marah, rasanya dia ingin sekali berteriak. Dia ingin meminta maaf atas apa yang terjadi pada Bagas dan ibunya saat dia masih kecil.
Bagas sendiri juga melihat beberapa barang yang lain. Ada gorden, tanaman hias juga wallpaper dinding yang terlihat jika semua barang itu baru.
“Siapa yang belikan?”
“Pake uang tabungan. Uang itu kan memang disiapkan untuk rumah ini.”
“Uang tabungan? Uang tabungan atas nama mamaku itu kah?” Samsir mengiyakan. Dia yakin jika Bagas tak mampu untuk merusak semua ini.
Bagas sendiri keluar dan sepertinya memanggil beberapa orang. Bagas sendiri meminta tolong agar beberapa barang yang masih bagus diangkut ke rumahnya dan mereka akan dibayar dengan upah yang cukup tinggi. Dia juga menyewa salah satu pick-up warga dengan harga di atas harga sewa pada umumnya.
“Silahkan copot barang seperti ini! Untuk lukisan seperti ini, kalian bisa ambil dan bisa jadi koleksi di rumah kalian.” Mereka hanya menuruti apa yang Bagas mau. Samsir yang melihat orang-orang yang mengemasi beberapa perabot dan barang yang baru dia beli, berusaha untuk menghentikannya. Tapi, mereka sendiri tak menghiraukan. Bagas membayar mereka jauh lebih tinggi dari apa yang Samsir tawarkan.
“Maaf Pak Samsir, tapi Mas Bagas membayar kami dengan harga yang lebih tinggi. Dia juga membayar sewa mobilku 5 kali lipat dari harga sewa yang aku tawarkan. Apakah Bapak bisa menawar mobil kami dengann harga sewa yang lebih tinggi dari dia?” Mereka sendiri langsung mencopot dan memindahkannya ke mobil.
“Kenapa harus begitu?”
“Maaf Bapak. Kami ada istri dan anak yang harus makan. Anak saya juga masih bayi, kebutuhannya juga masih banyak. Permintaan Mas Bagas tidak ada yang salah kan? Kalo memang salah, bisa Bapak tunjukkan kesalahannya dimana?” Samsir terdiam dan tak menjawab apa yang ditanyakan orang suruhan Bagas. Mereka hanya melaksanakan apa yang Bagas mau dan kepikiran orang yang mereka sayangi.
Bagas sendiri yang melihat barang itu bersih dan kembali menuju rumahnya hanya bisa tersenyum. Dia mendekati Samsir dengan senyuman mengejek. Kondisi rumah itu nyaris kosong.
“Maaf Pa, karena ini semua Papa beli menggunakan uang milik mendiang mama, sudah seharusnya barang ini milikku, bukan berada di rumah yang hanya menjadi tempat dia tersiksa.” Bagas sendiri langsung pergi dan membiarkan Samsir menangis. Begitu bencinya sang anak padanya, hingga dia tega melakukan Semua ini padanya.
“Bagas, kenapa kau melakukan semua ini?”
“Sekarang aku tanya, kenapa kau melakukan semua itu pada mendiang mama? Dan sekarang, kau membeli barang dengan uang tabungan itu? Menurutku itu aneh sekali. Orangnya disiksa dan dijadikan babu, uangnya dirampas.” Bagas sendiri membiarkan Samsir sendiri terdiam dan menatap sang anak yang sama sekali tak peduli dengan kondisinya.
Seorang lelaki kemudian mendekati Samsir yang tengah lemas melihat semua barang itu diangkut. Dia sendiri mengajaknya bicara terkait apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu.
“Baskoro?”
“Maaf, tapi apa yang Anda lakukan memang sudah melukai hati Bagas. Kenapa Anda baru menyadari sekarang?”
“Baskoro, bukan aku ingin seperti itu.”