Di luar Rumah, Bagas sendiri ingin membuat mereka babak belur. Melihat kedua saudaranya yang kali ini dia hadapi, rasanya tangannya gatal untuk menuntaskan dendam terkait apa yang terjadi pada mendiang mamanya.
Tangan itu langsung melayang. Ali dan Seno spontan melindungi Samsir dari amarah Bagas. Tapi, tangan itu tidak melayang ke salah satu dari mereka. Tangan itu justru meninju dinding yang tepat di samping tempat mereka berdiri.
“Bagas?”
“Aku tidak bisa menghajar orang yang dalam kondisi sakit.”
“Nak, papa ikhlas jika kau marah. Tumpahkan semua amarah itu padaku! Tumpahkan semuanya kepada papa! Papa akan bertanggung jawab dan ikhlas terkait semua amarah yang ada dalam hatimu.” Samsir memegang kaki Bagas sambil terus meminta maaf atas apa yang terjadi. Dirinya siap jika Bagas hari ini membunuhnya. Tak ada harapan lagi untuk dia hidup.
“Kau bisa membuat mama yang saat itu tidak berdaya semakin tidak berdaya. Kau bisa melukai hati mama saat dia kondisinya begitu lemah. Tapi ini berbeda denganku. Aku sama sekali tidak bisa seperti itu. Apa untungnya aku berbuat seperti itu. Berbuat seperti demikian sama saja mempermalukan diriku sendiri di hadapan banyak orang.” Apa yang baru saja Bagas katakan membuat mereka terdiam. Mereka mengingat semua kesalahan yang pernah dilakukan masing-masing. Walaupun Bagas dan ibunya sudah dihina ketika dalam konsdisi lemah, tapi Bagas sama sekali tidak bisa berbuat seperti itu.
Bagas sudah menunjukkan kelasnya. Bagas secara tidak langsung menunjukkan kelas mereka yang sebenarnya. Samsir sendiri hanya bisa terisak dan memohon agar Bagas bisa memaafkan apa yang pernah terjadi.
“Apapun yang kau jadikan syarat untuk maaf itu, aku akan usahakan. Maaf darimu, adalah barang mewah yang kali ini ingin aku punya.” Bagas sendiri terdiam beberapa saat. Apa yang diminta oleh sang papa begitu berat untuk dia lakukan.
“Kalian menjauhlah dariku. Jangan pernah kalian menampakkan diri di hadapanku. Rasa sakit ini selalu tumbuh ketika aku harus bertemu dengan para pelaku yang tega menghabisi ibuku dan membuat akhir hayatnya begitu menderita.”
Mereka tertegun dengan apa yang Bagas sampaikan. Ingin sekali Ali meminta hal lain. Tapi, sebelum Ali mengutarakan hal itu, Samsir sendiri langsung bersuara. Dia bersedia untuk melakukanya selama itu mendatangkan maaf dari Bagas.
“Papa ikhlas jika itu maumu. Jika memang maaf itu harus papa bayar dengan permintaan yang baru saja kau ucapkan, papa akan melaksanakannya. Papa tidak akan lagi tampak dan menjauh darimu.” Seno dan Ali terdiam dan akhirnya menangis. Kenapa Samsir begitu mudahnya ikhlas jauh dari anaknya yang selama ini dia rindukan?
“Papa, kenapa Papa menyetujuinya?”
“Ali, dulu Bagas begitu mengharapkan kasih sayang dari papa, tapi papa tidak pernah menghiraukannya. Papa tidak pernah memberikan hak yang harusnya dia terima. Jika memang ini adalah jalannya, papa sudah siap untuk konsekuensi ini.”
“Papa.”
“Biar papa yang menanggung rindu pada anak yang pernah aku zalimi. Aku ikhlas. Demi maaf darinya, aku ikhlas menanggung semua ini.” Samsir akhirnya pergi dan tersenyum. Dia lama sekali berada di depan gerbang rumah Bagas. Dia memandangi anak dari hasil pernikahan pertamanya. Wajah yang dulu begitu hangat kini kembali bersinar dan memunculkan kehangatannya kembali. Samsir tersenyum pada Bagas yang masih menangis. Dia kali ini bisa bernafas lega saat Bagas memberikan syarat itu.
Reno dan Fatimah langsung keluar dan meminta Bagas untuk masuk. Mereka yang melihat semua yang Bagas lakukan pada ketiga orang itu hanya bisa terdiam dan tak mampu berkomentar apapun. Dalam hati Fatimah, dia sedikit lebih lega karena Bagas tak menghajar Samsir yang tengah tak berdaya. Alasan itu membuat Fatimah menangis. Ingat saat sang suami tak juga melakukan hal yang sama pada orang yang pernah menyakitinya.
Reno sendiri tak ingin terlalu lama di luar ruangan. Cuaca akhir-akhir ini tidak menentu dan akan sangat berpengaruh pada kesehatan Fatimah. Mereka tak bisa membantah apa yang Reno inginkan.