Ana masih penasaran dengan apa yang Pak Agus katakan kemarin. Apa maksudnya minyak yang diberikan Budhenya itu minyak dukun? Jujur Ana ingin sekali menceritakan itu pada ibunya, tapi niat itu diurungkannya. Belum yang diucapkan Pak Agus benar adanya.
Ana pun terus melamun, sampai ada seseorang yang mengagetinya dari belakang. "Hayo kamu ngelamunin apa, Na?"
Indah berjalan dan duduk di lantai saat keduanya ada di lobi .
"Nggak ngelamunin apa-apa, Ndah." Ana tampak berpikir. Dia akhirnya menceritakan apa yang dikatakan perawat itu pada Indah. "Ndah, masak kata perawat yang rawat bapakku, minyak yang dikasih Budheku itu minyak dukun."
"Dia punya kelebihan, Na?" Indah menatap Ana sangat serius.
"Kayaknya gitu, sih, Ndah, tapi aku nggak tahu juga."
"Oh, gitu. Ya udah, Na, jangan terlalu dipikirin. Yuk makan, Na, aku lapar, nih," jawab Indah.
Ana mengangguk. "Indah, mau makan di mana?"
"Bakso di samping koperasi aja." Indah berdiri berjalan menuju warung bakso yang berada di samping kantin.
"Ndah, kamu mau pesen bakso atau soto?" tanya Ana sesampainya di sana.
Mereka duduk di kursi panjang. Tampak banyak anak laki-laki di sana sedang makan, atau bahkan ada yang numpang bermain games . Maklum kampus mereka kebanyakan anak laki-laki karena kebanyakan anak teknik.
"Aku bakso aja, deh, Na, " jawab Indah tanpa menoleh ke arah Ana. Perempuan yang memakai jilbab biru dongker itu pun sibuk memainkan ponselnya.
Ana berdiri dan langsung memesan. makanan yang dipesan, dan kembali ke tempat semula. Masih sama seperti tadi, Indah masik sibuk dengan ponselnya.
"Kamu sibuk banget, Ndah, sama HP-mu. Ada apa, sih?" Ana mengeryitkan dahi.