Udara Desa Tebat Gunung yang terletak di dataran tinggi Sumatera Selatan terasa sangat dingin bagi Sovia dan anak-anaknya. Ini hari pertama mereka menjauhi duka mendalam atas kematian Ganda. Sovia menatap Mata, Hati, Jiwa dan Sukma, empat perempuan malang yang kini harus dibesarkan Sovia seorang diri. Keempat gadis itu tidur meringkuk dalam pelukan Sovia.
Sejak ditinggal mati suaminya Sovia hengkang dari kontrakannya di Palembang. Ia memilih memboyong empat anaknya pulang ke Desa Tebat Gunung, Lahat. Lima perempuan ini menempati rumah peninggalan orang tua Sovia. Sebuah rumah sederhana dengan pekarangan yang ditumbuhi tanaman rumah dan lima batang pohon kopi.
Sambil merapatkan keempat anaknya ke tubuhnya, Sovia mengisahkan lingkungan yang kini menampung mereka.
"Dahulu, nenek kalian, H Sukro mendapatkan kunjungan dari H Samsani yang baru sudah pergi haji. H Samsani sangat antusias menceritakan pengalamannya pergi menunaikan rukun islam yang ke lima. Suatu hari usai melaksanakan semua rukun haji, H Samsani sempat dibawa tour guide berjalan-jalan ke Turki. Ada satu masjid yang sangat megah di Turki. H Samsani menyempatkan shalat di masjid termegah itu. Nama masjid itu Haghia Sophia," kisah Sovia.
"Itu ibu kah? Sovia?" tanya Sukma, si bungsu.
"Ah, ya. Mirip bukan?" Sovia mengelus kepala Sukma. "Lalu, selama di Turki saya dibawa jalan-jalan oleh guide mencicipi kopi khas Turki. Nama kedainya, Kahve Do. Saya penasaran. Kok mirip kata Kawe. Eh, nama-nama kedai kopi di sana semuanya memakai kata Kahve, sangat mirip orang kita di sini menyebut biji kopi yakni Kawe."
"Jadi Kawe memang nama asli biji kopi sejak ditemukan di Turki lalu dibawa Wak Haji ke desa kakek dan kini semua warga Tebat Gunung menyebut biji kopi dengan Kawe? Hebat sekali nenek moyang penemu Kawe. Kakek Jiwa orang kaya ya Bu?" Jiwa menyela bertubi-tubi. Mata dan Hati tertawa. Sukma merengut karena kalah cekatan.
"Deretan kedai kopi di Turki bahkan selalu menyertakan kata Kahve," kata Sovia mengulang cerita H Samsani yang selalu diceritakan ayahnya, Sukro. Sovia menggelitik Sukma, "ih, masak cemberut. Dingin?" Sukma menggelengkan kepala.
"Terus Kakek menamai salah satu anaknya Kawe?" Sukma bertanya sekenanya.
"Oh bukan. Tak ada saudara ibu diberi nama Kawe. Nah kalau nama Ibu itu berasal dari nama Ibu kota Bulgaria, Sovia mirip nama masjid termegah di Turki itu."
Sovia lantas menceritakan asal namanya. "H Sukro, kakek kalian saat itu sedang menunggu kelahiran anak pertamanya. H Sukro terus berdoa agar dikaruniai anak perempuan. Kakek kalian, sangat terkesan dengan cerita H Samsani soal masjid Haghia Sophia. Selain itu Kakek juga mendengar nama Sovia yang menjadi ibu kota Bulgaria, kota sekitar Turki masa Ottoman yang juga jadi sentral penyebaran kopi. Lalu, oeee, oeee.. Ibu lahir ke dunia. Anak itu perempuan. Seperti keinginan H Sukro. Maka sebagai syukur H Sukro menamai bayi itu, Sovia. Ibu kalian ini."