Dendam Tak Sudah

Arif Holy
Chapter #2

Biji Kopi Sovia

  


"Awas ada Via. Via datang. Cepat siapkan sesaji. Ayam hitam, jambu, kedondong, semuanya. Kita harus jamu dia. Via telah merubah hidup kita yang susah jadi sejahtera. Awas jangan berisik nanti dia marah. Jangan memotong omongannya nanti kualat."

"Petai, nanas, juga?"

"Semuanya. Cepat."


Sovia selalu disambut penuh suka-cita oleh petani kopi Desa Tebat Gunung. Via, sapaan akrab itu dilekatkan oleh para petani kepadanya. Via, perempuan petani dan pedagang kopi petik merah sekaligus pendamping idola.


Sovia kerap merasa geli. Namun ia tak mau mengecewakan para petani kopi yang jadi binaan sekaligus mitranya. Dulu, janda empat anak ini hanya ingin hidupnya bangkit. Ia lantas berbagi tips. Pertama demi kelangsungan pasokan kopi agar bisnisnya makin lancar. Kedua, ia ingin para petani kopi juga menikmati harga tinggi. Mulai memilah biji yang akan dipetik, usai petik, menjemur, menggongseng hingga menggiling biji kopi dan mengemas. 


Sovia sudah merasakan hidup susah sejak ditinggal mati suaminya. Anaknya empat, perempuan semua. Dua beranjak remaja dua masih sekolah SD dan TK. Ia tak mau para petani, Ibu-ibu, merasakan kepahitan hidup seperti yang dialaminya. 


Lebih dari upaya menghindari bahan gunjingan, Sovia menyibukkan diri bekerja demi memberi makan anak-anaknya. Anak tetangga tiga kali makan, setidaknya anak-anaknya juga makan secara normal seperti anak-anak tetangga. Apapun yang terkait dengan kopi ia pelajari dengan sungguh-sungguh. Mulai hanya memilih biji kopi merah untuk dipetik, menjemur dengan benar, menyangrai, menggiling hingga mengemas. Sovia juga belajar pemasaran. Namun semuanya dilakukan mandiri. Tepatnya harus dilakukan, dijalani sampai bisa dan tak perlu keluar biaya. 


Sovia memang tak memerlukan kursus atau belajar kecakapan. Sebab hidup susah sebagai janda miskin banyak sekali mengajarinya cakap. Untuk bertahan hidup ia tak perlu simulasi toh sehari-hari harus bekerja untuk tetap hidup. Ia tak perlu belajar mengendalikan emosi sebab keadaannya mengharuskan mampu berjaga diri. 


Ia suka berbagi ilmu. Bukan karena berbagi itu perintah agama atau agar orang juga mau berbaik hati kepadanya. Kalaupun Sovia mau semua wanita kuat dan punya bekal hidup sendiri tak lain karena ia ingin mendidik keempat anak perempuannya tahan banting. Perempuan, harus punya kecakapan. Jadi tidak terlantar saat ditinggal pergi laki atau suami yang mati duluan sedangkan anak-anak masih perlu pendidikan. 


Sovia terampil mengolah biji kopi. Ini bukan kemauannya. Ia terampil dan pintar karena harus menjalani. Anak-anaknya yang menuntunnya. Setidaknya nasib empat buah hatinya yang mendorong Sovia bisa apa saja. Mengolah biji kopi jadi satu-satunya sumber uang Sovia. Kesusahan mencari uang mengajarinya hanya kopi petik merah menghasilkan biji kopi berkualitas. Sesudah diproses dengan benar harganya juga lumayan. Jauh lebih tinggi ketimbang biji kopi petik campur yang diproses sembarangan. 


Sovia khatam arti melarat dan menahan beban hidup keluarga. Perjuangan bangkit ini yang membuatnya berjiwa pengasih. Ia rela masuk-masuk jauh ke dusun menemui petani kopi. Ia melakukannya sendirian bermotor. Di jok belakang motor ia pasangkan keranjang kenyot untuk membawa barang. 


Kopi Sovia dibeli pengepul untuk dilempar kepada pabrikan kopi merek utama. Sejumlah kafe di kota besar bahkan hanya menyajikan biji kopi olahannya. Walaupun tak pernah mencantumkan merek kopi milik Sovia, ia sangat tahu biji kopi miliknya. Kafe hanya mencantumkan Kopi arabica wine Semende. 


Sovia sangat memperhatikan kemasan. Kopi bagus harus diwadahi secara bagus. Harus cantik agar pembeli tertarik. 


"Nah masuk dia. Cepat selesaikan semuanya. Nah, nah, Via datang. Selamat pagi Via. Maaf merepotkan. Ada banyak yang mau kami tanya. Oh ini? Aah, sekedar tanda terima kasih saja. Silahkan, silahkan diaturi duduk."

"Halah kayak menyambut dukun saja. Itu buah-buahan, ayam kenapa dibawa ke sini. Ambil pisau. Kita kupas, makan bareng, ya? Ayamnya ya silahkan dilepas lagi. Itu ayam jantan kan? Kasihan betinanya, nanti becarian."

"Oya baik. Pisau. Ambil pisau. Kupas semua buah-buahan. Ini permintaan Via. Ayamnya, ayamnya sembelih sekalian. Jangan lupa. Direbus saja utuh. Itu syarat dari Via. Petainya nanti dibungkus sekalian ayamnya buat oleh-oleh. Kali ini sepertinya hanya buah yang jadi syaratnya, sesajinya."


Lihat selengkapnya