"Langit!" ia memberikan tangannya pertanda berkenalan. Gadis cantik itu menerima tangan Langit, "Jia Li." Katanya memperkenalkan diri juga. Hembusan angin sore membuat keduanya senyap dalam pikiran masing-masing. "Kelas berapa Lang?" Jia Li membuka percakapan. Langit tertawa pelan. "Udah ga sekolah." Jia Li melongo. " Serius? Udah ga sekolah?" Langit kembali tertawa. "Gue kuliah." Balasnya. "Wah, manggil kakak dong berarti?" Jia Li sedikit menahan rona di wajahnya akibat malu.
"Ngapain manggil kakak segala, gue baru semester dua juga. Emang lo kelas berapa?" Jia Li menunjukkan dua jari di tangan kanan dan satu jari di tangan kiri, Langit ber-oh pelan. "Cantik ya sungainya?" Langit menunjuk sungai yang terletak di bawah jembatan. "Ha, cantik apanya? Cantikkan gue." Jia Li berujar percaya diri. Langit tertawa, menggeleng-gelengkan kepalanya. "Yakin? Udah ah, gue mau balik. Ikut ga?" Langit memasang helm di kepalanya. "Ga dulu deh, gue pulang sama angkot aja. Makasih ya buat tumpangannya." Jia Li berjalan menjauh mencari angkutan kota yang masih berkeliaran di sore itu.
Tiba-tiba segerombolan preman datang mendekati Langit saat ia baru saja melepas jaketnya. "Tatoan?" tanya salah satu dari mereka. Langit mengangkat sebelah alisnya, kemudian bersiap pergi. "Lo orang baru? Ga tau peraturan apa gimana?" Langit menarik salah satu dari mereka yang menyapanya tadi untuk mendekat kearahnya. "Gue tau, bahkan lebih tau daripada lo semua. Udah ah males ditanyain itu mulu, cabut ya gue!" Langit segera pergi dari tempat itu dan bergerak menuju rumahnya. "Wah sialan, bocah ingusan juga. Sok-sok an! Kenapa ga lo tembak aja langsung?!" bentak si ketua sepertinya. "Rame bang disini, ga mungkin gue tembak. Yang ada kita kena. Dah ah, cabut!" mereka semua pergi meninggalkan tempat tadi.
***
Langit malam terlihat sangat indah apabila dilihat mata kepala sendiri, Langit mengenang masa sore ia bersama gadis Tionghoa tadi. Mungkin kelak jembatan akan menjadi tempat favoritnya setelah pulang kuliah nanti, Langit teringat pada surat yang tadi di terimanya dari kurir pos. Membaca dengan jelas kata-kata yang ada di dalamnya, tulisan yang masih sama seperti 3 tahun yang lalu, rangkaian kata yang tak pernah berubah walau sudah jauh tertinggal kisah itu.
Langit membuang kertas yang tadi di bacanya kesembarang arah. Ia memanggil seorang pembantu yang tengah membersihkan dapur. "Bi, nanti kalo ada surat atas nama Fira dibuang aja ya. Soalnya bikin rusak anak orang." Ujarnya. Bi Rati yang telah bekerja di keluarga mereka hampir dua puluh lima tahun itu sudah mengetahui segala tentang Langit dan keluarganya, masalah hati, sekolah, bahkan orang tua sendiri pun ia tahu. Karena seorang Langit yang tak pernah pandai menyembunyikan perasaannya kepada sang pembantu, Langit memang sangat jarang mau bercerita kepada orang tuanya lantaran sangat sibuk di dunia kerja mereka masing-masing. Terpaksalah peran sang bibi menjadi dua, yaitu mengurus Langit dan pekerjaan rumah disana.