Hari yang lara, menyimpan banyak kesepakatan dan berakhir memar di setiap sudut. Arima duduk, meringkuk di pojokkan ruangan saat semuanya saling berjatuhan. Kedua pasang mata kacangnya yang melengkung, menancap di titik tak berbentuk. Ada ruang di sebuah titik itu, mungkin, tetapi karena Arima terlalu hanyut dengan debarannya sendiri, ruangan itu menjadi ... lepas.
Namun, begitu suara menderang memikul denyut telinganya, sebagian diri Arima tersenggol. Matanya membesar sesaat ketika seseorang masuk ke ruangan Arima. "Rima, kenapa harus gede begini volume-nya?" Arima hanya tertegun. Tubuhnya seolah menolak apapun yang menggeser lamunannya. "Arima!"
Arima masih terdiam saja. Wajahnya memerah dengan mata mulai berair. Sosok berpakaian kemeja polos biru itu, langsung mendekati Arima saat menangkap gelagat yang mengganjal dari matanya. Dan, sedekatnya jarak mereka, sosok itu mengernyit seraya berjongkok di hadapan Arima. "Rima ... " Sosok itu perlahan menyentuh tangan Arima, kemudian menggenggamnya secara utuh, seutuh derap jantung yang berdesir tidak karuan.
Dengan sentuhan itu, pertahanan Arima tergoyahkan begitu saja. Tatapannya berangsur melirik ke arah lelaki di hadapannya. "A--aku, aku nggak tahu. Layarnya nyala begitu saja, dan aku nggak tahu cara mematikannya," jelas Arima diiringi tatapan yang linglung. Melihat itu, lelaki berkemeja biru tersebut lantas merengkuh Arima ke dalam pelukan. "--maaf."
"Nggak papa. Kamu bisa tinggal panggil aku. Dan akan kumatikan buat kamu," kata lelaki itu sambil berusaha menenangkan Arima di dekapannya.
"K--kecilkan volumenya aja." Lelaki itu mengangguk, dan baik keduanya tentram di dalam gemuruh suara di sudut ruangan. Memberikan napas-napas yang pekat kelambu, tercacah di antara sepasang insan tersebut tanpa balasan pelukan yang sudah ... menyuluhkan.