Arima membuka matanya, dan sesaat merasakan bobot di kepalanya. Arima mengira dirinya masih berada di dalam mimpi. Namun, sesuatu yang mendekapnya lebih rekat, meroketkan getaran di dadanya seketika untuk menyadarkan Arima yang ternyata memang sudah benar-benar terbangun. Arima menengok sedikit ke sebelah. Terpampang jelas leher hingga dagu lelaki di sebelahnya. Sosok itu begitu tenang di rengkuhan Arima dengan kondisi sebaliknya.
Arima ingin menegur, tetapi keadaan tenang ini lebih menguasainya sekarang. Arima jadinya bingung sendiri untuk menanggapi situasi yang serba salah. Dan membuatnya sesekali bergerak gelisah. Dhawa merasakannya. Suatu kegelisahan yang tidak begitu asing. Namun, tetap selalu ada jeda untuk mengevakuasi kondisi--terkadang--berada--di--depan--matanya--itu. Dhawa sesaat membuka matanya. Lalu, perlahan memiringkan kepala ke arah Arima.
Arima seketika menatap Dhawa. Mata mereka saling berjumpa dengan dentingan yang terbirit-birit di dalam dada. Kedua bingar itu bertumbukkan hingga menciptakan ... kembang api yang seketika menarik bibir Arima untuk berbicara.
"Aku mau lihat kembang api."
Kening Dhawa terlipat begitu mendengar permintaan yang tidak disangka. Bising di benaknya memang menyusahkan, tetapi Dhawa tidak terpikirkan akan membebani Arima juga dari permintaan perempuan tersebut. "Ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba mau lihat?" tanya Dhawa dengan tatapan yang masih melekat kepada Arima.
"Aku pernah mencium aroma asap kembang api," kata Arima. "Dan aku ingin menciumnya lagi."
Dhawa lalu menyipitkan mata. "Apa itu membikinmu nyaman?"
Arima membasahi bibirnya. Menukik perhatian Dhawa ke arah bibir merah muda yang pucat itu seketika. "Aku ... aku tidak mencari kenyamanan di sana," balas Arima dengan tatapan menindih lelaki di sebelahnya. Dhawa merangkum pancaran di depannya dengan baik.
"Mungkin ada hal yang menarik lainnya dari aroma gosong itu."
"Aku merasa, momen habisnya percikan api itu yang menjadi ... pikiranku."
Dhawa meneliti permukaan wajah perempuan di sebelahnya dari atas ke bawah, lalu kembali lagi ke sorot yang melenakan tubuhnya. Keheningan itu selalu menjadi himpitan di keduanya, tetapi, pikiran Dhawa lebih damai untuk menyinari segala hal yang lalu-lalang di sana. "Kapan kamu mau melakukannya?" tanya Dhawa sesaat.
"Nanti malam?" ujar Arima yang terlihat setengah berpikir. "Apa kamu nanti sibuk?" Tatapannya lalu merunduk ragu. Dan Dhawa meninggikannya lagi seolah melarang Arima untuk mematahkan semangatnya. Arima sesaat tersentak dengan perlakuan Dhawa yang menyentuh dagunya.
"Sekalipun aku ada kegiatan, aku masih bisa mengatur."
"Jadi, apa kamu keberatan?"
Dhawa menaikkan sebelah alisnya dengan posisi yang masih sama. Barangkali ingin mengenyahkan keraguan Arima dari mata perempuan itu. "Dilihat darimana jika aku keberatan?" tanya balik Dhawa.
Arima menggeleng pelan. "Nggak tahu. Nggak ada kayaknya, Dhawa."
Dhawa menghela napas. "Kalau begitu, tunggu dulu ya? Aku beliin dulu kembang apinya. Nanti malam kita mainkan di rooftop."