Dengarkanlah Gemuruhku, Dhawa

ayyy
Chapter #4

BAB 3

Pagi dengan langit yang mendung, menghadirkan kesibukan aktivitas di sebuah pasar. Dari sisi jalanan, berjejer kendaraan yang menangkring seperti kendaraan bermotor. Beberapa tampak sudah dipenuhi belanjaan, dan masih menanti. Sebagian merupakan para ojek. Kepadatan itu tidak hanya dihiasi transportasi beroda dua, melainkan lalu lalang orang bersama belanjaan. Sementara di jalan besar, ada sejumlah mobil melaju pelan.

Arima, dari beberapa orang lainnya yang sedang berinteraksi sama penjual. Di antara himpitan para pengunjung, Arima dengan kaos biru, memilah beberapa daun bawang. "Mang, terasi kok nggak ada ya?" Salah satu wanita tua dengan hanya mengenakan ciput di kepala, berbicara sama penjual. Penjual di depan beliau itu langsung menanggapi sembari tangannya melayani belanjaan lainnya.

"Iya, Bu Ani, stoknya masih kosong nih. Nanti sore mau dicari lagi pengepulnya," kata penjual tersebut.

Sosok yang dipanggil Bu Ani itu melengos, dan pergi begitu saja. Arima sendiri sudah selesai dengan seleksi perbumbuannya, lalu menyerahkan semua belanjaannya ke penjual. Sang penjual segera menghitung total belanjaan Arima seluruhnya ketika Arima berancang untuk mengambil dompet dari kantong rok. "Berapa Bang semua?" tanya Arima.

"15.000, Neng." Sang penjual mengulurkan bingkisan ke Arima.

Arima menerimanya dengan sejumlah lembar uang diberikan kepada sang penjual. Sampai detik ini, Arima masih mampu menyuplai bahan makanan dari hasil usahanya sendiri. Namun, Arima perlu mengecangkan ikat pinggangnya untuk sekadar kebutuhan primer. Sebatas makanan seadanya, Arima belajar beradaptasi sama keadaannya sekarang. Biaya penunjang hidup nyatanya tetap menguras kocek Arima padahal hanya untuk diri sendiri.

Sebelum aksi pengusiran, Arima dan beberapa korban penggusuran sempat dijatahkan upah. Itupun hanya bertahan sebulan. Keadaan keuangan beberapa warga menjadi semakin menipis lantaran perpindahan mereka memakan biaya juga. Arima, satu dari sekecilnya warga yang masih sedikit beruntung. Biaya hidupnya ada tambahan dari ide bisnis kecilnya yang terkadang pembelinya bukan dari warga penggusuran. Namun, warga berasal melalui gang lain.

Arima kini melusuri jalanan dengan dua sisinya pedagang daging. Mungkin sekitar 20 menitan Arima berada di sana. Arima memilih daging ikan saja. Ada ikan mujaer, lele, serta cikalang. Selesai urusan itu, Arima melenggang keluar pasar. Rumahnya tidak terlalu jauh dari lokasi pasar lokal.

Jadi, Arima bisa pulang tanpa ongkos lagi. Deretan gang rumah Arima meskipun kecil, tetapi, ada ruko jualan. Tapakkan kaki Arima mulai memasuki gang tersebut. Di dalam keheningan Arima, pikirannya sibuk menentukan slot-slot pakaian yang akan Arima kerjakan, lalu, mendadak mengerucut saat melihat seorang wanita berbincang sama lelaki.

Langkah Arima seketika memelan karena merasa tidak asing sama sosok wanita yang mengenakan kemeja putih. Sosok itu tersenyum dari balik kaca di sebuah ruko yang ingin Arima lewatkan. Kelihatannya percakapan mereka cukup serius tetapi masih ada keringanan dari pembawaan wanita itu.

Arima tidak bisa menangkap sosok lawan bicara wanita itu. Pandangannya hanya menjangkau punggung berpakaian jas hitam tersebut.

Tak lama, Arima baru dapat menyorot sosok lelaki di sana secara sekilas ketika berjalan menuju keluar ruko.

Sosok itu berperawakan gagah dari kumis, juga postur tubuhnya. Tidak jelas wajahnya bagaimana lantaran tertutupi kaca mata hitamnya. Lelaki itu melangkah ke sedan BMW hitam yang terparkir di ruko tersebut. Dan begitu mobil itu melaju, Arima segera menghampiri wanita berkemeja putih tadi. "Kia!" panggil Arima saat memasuki ruko buku kecil secepatnya. Sosok berkemeja putih itu menengok ke Arima, menunda kegiatannya yang ingin merapikan beberapa buku di depannya.

"Iya, Rim?"

"Tadi siapa Kia?" tanya Arima dengan sekali tembakan. Wajahnya sudah terlampau menunjukkan penasarannya sehingga sulit untuk dirimbunkan.

Kia tersenyum lebar, dan segera menarik tangan Arima untuk mendekat. "Beliau Pak Wildan. Kuasa Hukum untuk ahli waris orangtuaku yang di Pemalang," kata Kia. Kiara adalah teman sesama korban penggusurannya Arima. Namun, Kiara ini terbilang berkecukupan. Keluarga besar Kiara mempunyai tanah di dua gang di kampungnya, ada juga rumah lumayan besar orangtuanya di sana. Nasibnya saja yang sangat apes.

Kiara ada konflik keluarga yang cukup serius. Dan memutuskan nekat untuk pergi dari desanya. Kemudian, menumpang di rumah saudaranya di daerah Cijantung. Kebetulan rumah saudaranya kosong, sudah tiga tahun. Kiara tidak memikirkan bagaimana polemik yang terjadi antara pemukiman padat serta pemerintah daerah lantaran saudaranya tidak berterus terang sama keadaan tersebut. Resikonya sekarang Kiara harus bernasib naas dengan Arima.

Namun ... takdir mungkin tengah berencana. Arima merasa ada kemungkinan besar Kiara bisa diselamatkan dari penderitaan ini semua. "Beliau sih emang belum bilang langsung soal tanah Bapak yang di belakang kampung itu. Ke sini cuma nanyain keadaanku aja."

Arima hanya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri yang membait segenap kemungkinan. Dan, entah, degupnya tidak berirama teratur. Kemungkinan itu seharusnya sebuah peluang, tetapi, seiring berada di pikiran itu, lalu mengetahui sebagian cerita keluarganya Kiara, Arima menilai.. Kiara bisa saja selamat untuk hal tertentu. Arima tidak mau mendalaminya lebih.

Lihat selengkapnya