Jika hal paling berharga dalam hidupmu telah direnggut, lantas apa lagi yang akan kau pedulikan? Hidup di dalam bangunan tua bekas pabrik kayu pun tak kau indahkan. Pengap dan bau menyengat dari tempat sampah dekat situ tak kau pedulikan. Lolongan anjing kampung yang kerap masuk dan buang air sesukanya pun tak kau dengarkan. Yang kau tahu hanya tiga hal, makan, tidur dan bekerja demi memenuhi keinginan ibu kota, dan demi hasrat akan balas dendam.
Jangan tanya di mana dirinya tidur. Mengampar di depan toko, tergeletak di tepi trotoar, mengambang di tepi sungai kalimalang, sudah pernah ia lakukan. Tapi akhirnya, sebuah bangunan bekas pabrik kini menjadi tempatnya pulang. Tak lebih baik, tapi setidaknya tidak diciduk polisi pamong praja.
Bangunan ini memiliki sofa bekas yang permukaannya sudah terkoyak, yang busa coklat di dalamnya mencuat suka-suka. Entah dari mana sofa itu datang, tapi itu menjadi tempatnya tidur beberapa tahun belakangan ini. Menjadi saksi lelahnya tubuh yang sesungguhnya sudah tak mampu lagi menahan beban takdir.
Ditemani meja kecil tempat ia menaruh asbak, bertengger radio tua dan berbagai sisa nasi bungkus serta berbagai botol bir. Ruangan ini sama sekali tak layak disebut kamar tidur. Ia bahkan tak perlu lagi tempat sampah, karena tempat itulah tempat sampah.
Tak jauh dari situ, di sudut ruangan, terdapat meja kayu usang bertangkar. Tempatnya menaruh berbagai dokumen, guntingan artikel koran, dan berbagai buku-buku tentang paham radikal. Meja yang membuatnya tetap semangat untuk hidup esok hari.
Tepat pukul enam seorang pria berperawakan tinggi tegap membangunkannya. Pria itu masuk begitu saja karena memang ruangan ini tak memiliki pintu. Dengan sopan pria yang diketahui bernama Ilyas itu membangunkannya, yang tergeletak lusuh di atas sofa, dengan beberapa luka menghias lengan dan wajahnya.
Belakangan sifat ini mulai jadi kebiasaan, kalau tidak dipukuli karena mabuk dan cari masalah, ia dipukuli karena tidak mabuk namun tetap cari masalah. Agaknya orang ini tak bisa tenang jika hidupnya tenang.
Setiap kali melihat pria ini, ada iba terbersit di benak Ilyas. Lihat lehernya, bekas jeratan tali itu begitu membekas, mungkin ada tiga kali ia mencoba gantung diri. Perhatikan juga pergelangan tangannya, ia pernah mencoba menyayat nadinya dengan silet.
Tapi memang Tuhan itu punya rencana, tak satu pun percobaan bunuh dirinya berhasil. Tuhan melarangnya mati. Untunglah lima tahun belakangan tak lagi ia lakukan perbuatan tercela tersebut. Pekerjaannya sebagai guru membuatnya lebih fokus, meskipun hidupnya tetap semerawut dan berantakan. Wajar saja, tak semua orang bisa bertahan saat anak dan istrinya menjadi korban bom Kuningan 2004.
“Zul.” Perlahan Ilyas menggoncangkan tubuh pria itu. Sambil sesekali mengendus aroma alkohol kuat sisa semalam. “Pastilah ia mabuk berat lagi semalam”, pikir Ilyas..
“Zul, bangun. Kamu harus kerja sebentar lagi, “ ujarnya mengingatkan.
Zul Meliora, nama pria lusuh itu, membuka mata. Terdiam sejenak karena memperhatikan wujud orang di hadapannya. Ada enam bulan tak bertemu, tiba-tiba muncul dan mengingatkan waktu kerja.
Tak butuh waktu lama, Zul mendudukkan dirinya, menyumpal rokok ke mulutnya, lalu sibuk mencari korek di kantong yang ada.
“Saya kira kamu sudah jauh dari masalah.” Ilyas mengomentari luka dan lebam Zul sembari membantu menyalakan rokoknya.
“Saya hanya lupa bawa uang. Mereka saja yang terlalu berlebihan.“
“Lupa bawa uang atau tidak punya uang?”
Zul tak membalas, hanya menjawab dengan helaan panjang asap yang berhembus dari mulutnya. Tebal dan mulai memenuhi udara mereka.