Di sebuah kedai makan sudut kota, Ilyas kembali menemui Zulandri. Agaknya berita tentang ‘kepulangan profesor’ lima hari lalu dianggap penting bagi Ilyas, ia kembali membicarakan itu. Tapi Zul terasa tidak antusias. Sebuah respon yang menurut Zul baik, karena menafsirkan kalau kawannya ini sudah menerima keadaannya, tak lagi berniat mencari, tak lagi menaruh dendam.
Tapi di balik niatan untuk memberi update berita, tersirat keinginan Ilyas untuk kembali menjaga Zul. Ia merasa sudah terlalu lama meninggalkan kawannya yang satu ini. Dulu, setelah kejadian itu, setidaknya seminggu sekali ia menemui Zul, sekedar memastikan kalau orang ini tetap baik-baik saja dan tidak berbuat onar.
Pasalnya Zul kerap berkelahi di jalan atau di kedai, yang akhirnya membuatnya keluar masuk kantor polisi. Kalau bukan karena Ilyas, Zul pasti sudah bolak-balik jadi residivis. Tapi, terlepas dari semua kekhawatiran itu, Ilyas hanya tidak ingin Zul kembali melakukan percobaan bunuh diri.
“Bagaimana tahun ajaran yang baru kali ini?” Ilyas membuka pertanyaan, berusaha mencairkan es yang selalu hadir di tiap pertemuan mereka.
“Biasa saja. Selalu sama, begitu-begitu saja.” Zul menjawab sekenanya, sembari menyalakan batang rokok entah yang ke berapa.
“Tora sudah berbaik hati kepadamu. Hargai dia, jadilah guru yang baik.” Ilyas membicarakan kepala sekolah yang selama ini merawat Zul, memberikannya pekerjaan, pesangon, dan selalu membelanya dari kemarahan orang tua murid dan protes guru lain.
“Saya tak pernah memintanya, tak juga mengenalnya. Kau yang memperkenalkan.” Balas Zul.
Ia memang tidak kenal dengan dengan Tora sebelumnya. Ilyas yang memperkenalkan, karena merasa Zul harus kembali bekerja dan hidup.
“Memang kau mau melakukan apa kalau tak bekerja. Namamu pasti sudah tersebar di kalangan profesional, tak ada bank yang mau menerimamu lagi.”
Zul hening. Matanya menghindari kejaran tatapan Ilyas.
“Jangan kembali seperti dulu. Hiduplah, pulanglah ke rumahmu.”
Dulu, Zul adalah seorang profesional dalam dunia keuangan. Ia memiliki kemampuan dalam bidang investasi. Portofolio racikannya, tak pernah minus, apalagi sampai kandas. Para investor mencintainya, korporasi berebut menginginkannya.
Tapi sejak kejadian bom itu, ia tak lebih dari seorang pecundang, begitu mereka menyebutnya. Seorang profesional yang ahli dalam melenyapkan uang investor. Mungkin fokusnya sudah teralihkan. Kejeliannya dalam menilai pergerakan pasar sudah tak tajam lagi. Zul berubah tumpul.
Setelah sebuah kasus besar, Zul dibuang. Ia terlibat dalam lenyapnya uang sebuah korporasi asuransi. Bukan karena korupsi, tapi karena salah menempatkan dana yang mengakibatkan mereka gagal bayar ke para nasabahnya.
Zul hampir dipenjara kala itu, dan Ilyas yang menyelamatkannya. Kini, nama Zul menjadi sangat terkenal dan tak ada satu pun korporasi yang menginginkannya lagi.
“Mengapa kau begitu peduli?” Zul membalas Ilyas dengan pertanyaan yang sudah sejak lama ia ingin tanyakan. Karena kehadiran polisi satu ini selalu membuatnya bertanya-tanya. Untuk apa seorang penyidik begitu peduli dengan keluarga salah satu korban dari kasus yang ia tangani.
Zul pernah bertanya dengan keluarga korban lainnya, tak satu pun dari mereka yang pernah didatangi oleh Ilyas atau pihak kepolisian atau dinas sosial, atau pihak mana pun. Negara tak peduli. Meskipun katanya, dalam beberapa tahun kemudian, akan disahkan undang-undang tentang kompensasi untuk para korban. Entahlah, tergantung siapa presidennya.