Sebulan setelahnya. Ilyas kembali tak menampakkan batang hidungnya. Zul mulai terbiasa dengan kemunculan suka-suka polisi itu. Terkadang, ada terbersit perasaan ingin mengobrol dengan Ilyas, sekedar mendengarkan ia berbicara, mengingatkan kalau masih ada manusia di sekitarnya. Tapi semakin ke sini, ia makin terbiasa tak berbicara.
Pagi itu, sebelum kelas dimulai, Zul menyempatkan diri untuk membeli segelas kopi di kantin sekolah, sebagai bekalnya untuk mengajar kelas pagi. Pemandangan pagi itu terlihat sangat wajar, lalu lalang murid yang baru tiba di sekolah, guru-guru pengawas yang merazia isi tas di gerbang sekolah, dan beberapa pasang kekasih yang menyempatkan diri untuk mengobrol romantis sebelum jam pelajaran memisahkan mereka, serta seorang murid perempuan yang baru saja menerima tamparan keras di wajahnya oleh kakak kelasnya di ujung lorong, tersembunyi dekat toilet paling belakang sekolah ini. Zul sempat bertatap mata dengannya, Kirana.
Sekelebat saja, Tapi tatapan Kirana jelas meminta pertolongan. Zul tak acuh, atau lebih tepatnya berusaha tak acuh. Ia tak ingin terlibat atau dianggap ikut campur dalam urusan asmara siswa. Ia bukan orang tuanya, wali kelas juga bukan. Lagi pula, apa yang membuat urusan romansa anak muda menjadi begitu genting. Mereka tak lebih dari sepasang monyet yang jatuh cinta. Cinta monyet. Hanya saja dengan sedikit bumbu rumah tangga yang belum saatnya.
Di kelas, Kirana belum juga masuk setelah tiga puluh menit Zul memulainya. Tasnya sudah tergeletak di kursinya di ujung sana, tapi orangnya entah ke mana. Dan hebatnya ,tak satu pun siswa yang terlihat peduli, mereka seru sendiri dengan ponsel masing-masing dan obrolan yang tak jauh dari bergosip tren terkini. Beberapa lainnya, berjoget di depan kamera ponselnya. Sedangkan sang guru, seperti biasa, bersiap untuk keluar kelas dan menyepi.
Belum Zul beranjak dari kelas, Kirana muncul dari balik pintu. Matanya sembab, cukup terlihat meskipun tersembunyi di balik kacamatanya. Wajahnya merah, terlihat jelas di atas kulitnya yang putih bak pualam. Gerak-geriknya gelisah, menunduk dan berjalan begitu saja melewati Zul, tanpa permisi tanpa salam, langsung menuju kursinya dan mengeluarkan buku catatannya. Setelah itu ia terlihat sibuk mengerjakan soal yang diberikan Zul lewat selembar kertas. Sebuah kejadian langka karena gadis itu selalu menjadi satu-satunya yang tak pernah mengerjakan dan mengumpulkan jawaban.
Seisi kelas sempat hening. Beberapa murid sempat menoleh-noleh ke Kirana dan Zul, mengira-ngira, mengapa ada guru yang tak peduli dan tak marah saat ada seorang murid yang dengan tak sopannya masuk begitu saja tanpa permisi. Apa begitu tak pedulinya guru Zul Meliora dengan murid-muridnya.
Tak lama, kelas kembali riuh, tak satu pun dari mereka menanyakan perihal yang terjadi kepada Kirana. Mereka tak kenal, dan tak ingin berusaha kenal.
Kirana memang murid pendiam. Tak punya teman karena ia sesungguhnya adalah kakak kelas. Tahun ini Kirana tinggal kelas. Ia terpaksa duduk sendiri karena tak kenal satu pun siswa di kelas ini. Pun di kelas sebelumnya, ia tak memiliki banyak teman. Waktunya habis untuk sendiri dan kekasihnya yang tadi pagi menghajarnya.