Denting Hitam Putih

krkawuryan
Chapter #6

Sebuah Buku dan Kisahnya

Tidak ada yang menyangka kalau gadis itu adalah seorang pianis yang handal. Ia banyak menjuarai kompetisi musik sejak kecil, dan pernah menjadi finalis di Ananda Sukarlan Award.

Di balik sikap acuhnya, ada kecerdasan musikal terselip. Di sela-sela laku pendiamnya, terdapat rangkaian nada di kepalanya. Musik adalah hidupnya, dan piano adalah napasnya.

Zul belum menyadarinya. Tak ada yang menyadari bakat Kirana yang satu ini kecuali neneknya yang memintanya untuk terus berkompetisi. Padahal bukan itu ingin Kirana. Ia hanya ingin bermain lepas, bebas, tanpa tuntutan, tanpa kompetisi. Menyentuh setiap tuts dengan rasa, menciptakan harmoni antara ia dan nada yang tercipta. Piano adalah suaranya.

Ya, begitulah kira-kira.

Tepat pukul 4, bising roda besi mulai meredup, kereta tak lagi melaju kencang. Alunan Sepasang Mata Bola menyambut kedatangan mereka, Jogja telah tiba. Seperti biasa, syahdu, agak senja. Belum kuning sangat namun lajur lajur cahaya matahari yang menerobos melalui langit-langit peron memberi pesan ke semua manusia yang baru saja tiba, “bersiaplah untuk kenangan yang akan kau bawa pulang dari sini.”

Tak banyak suara, satu guru tiga siswa itu berlalu begitu saja, melewati pintu keluar serta bapak-bapak ramah yang menawarkan becaknya.

“Mboten, pak, “ begitu Kirana membalas mereka satu per satu.

Zul tak bergeming, hanya berjalan dalam diam sementara muridnya masih sempat bercanda, kecuali Kirana tentunya. Sederet kenangan terputar di kepalanya, serupa rol film yang menayangkan cerita keping demi keping, kisah demi kisah, saat istrinya Lintang, menunggu dengan semburat senyum di tepat di luar stasiun, di bawah “Yogyakarta”. Tak terlupa barang satu detail pun olehnya.

Kisah mereka memang terjalin di kota ini. Kala itu Zul hanya seorang karyawan biasa di ibukota yang kebetulan sedang perjalanan dinas ke Jogja. Takdir baik membawanya bertemu wanita luar biasa. Lintang, mahasiswa tingkat akhir di Gadjah Mada, seorang calon dokter yang bercita-cita mengabadikan dirinya untuk menjadi garda kesehatan di garis terdepan, terpencil, terbelakang, di negara ini.

Tak hilang barang sekeping pun ingatan Zul saat Lintang menyapanya lebih dulu. Tenggelamnya Kapal Van Der Wick, itu benang merahnya kala itu.

Tidak ada yang tahu itu buku milik siapa. Kebetulan saja ada di dekat Zul saat ia sedang menyeruput kopi panas di angkringan dekat bunderan UGM.

Pun ia mampir di situ bukanlah sebuah perencanaan, kebetulan saja ia lewat di situ dengan motor sewaannya, terhanyut pusing karena masalah pekerjaan, dan kebetulan angkringan itu sepi, dan sepi artinya kontemplasi, sebuah momen mahal untuk bisa tenang dan menikmati barang sedetik dua detik ketenangan. Maklum saja, ia habis dikeramasi bosnya tadi.

“Suka roman klasik juga?” tanya Lintang ke Zul, yang sedang membolak-balik novel yang ada di dekatnya, entah milik siapa, entah kisah apa.

 “Iya..Iya, iya lumayan.” Zul menanggapi tergagap setelah menyadari gadis ini mempesonanya. Rambutnya tergerai sederhana, wanginya vanilla, matanya teduh, seakan menyimpan laut yang tak pernah habis.

Entah sejak kapan gadis ini sudah di dekatnya. Seingatnya, sedari tadi tiada satu pun makhluk selain ia, bapak tua pemilik angkringan dan satu kucing oren yang menanti sisaan makanan di dekatnya.

Gadis itu terdiam. Tak memesan juga. Ia hanya mengamati Tenggelamnya Kapal Van Der Wick yang kini dibaca serius oleh Zul. Saking seriusnya. Zul sampai mengenakan kacamata plusnya. Rautnya dibuat-buat demi terlihat serius, sesekali melempar pandangan ke gadis itu.

“Roman klasik begitu sudah jarang yang punya. Apalagi yang edisi awal-awal,” ucap Lintang.

Lihat selengkapnya