Denting Hitam Putih

krkawuryan
Chapter #7

Rinai Malam Jogja

Jogja tak pernah berubah. Kamu bisa katakan kalau kemacetan di sana semakin semerawut, atau katakan kalau jumlah motor yang jalurnya saling silang semakin banyak, atau bisa juga katakan hutan beton semakin rindang, mol bertambah, jembatan besar dibangun, kost-kostan modern minimalis yang menggantikan tumah limasan pun semakin menjamur. Namun Jogja memang tak berubah.

Bagi Zul, hanya satu yang yang membedakan Jogja dulu dan sekarang, yaitu tidak ada Lintang di sini.

Ini memang momen pertamanya sejak tiga belas tahun tak kembali. Sejak pertemuan pertama dengan Lintang, tak sekalipun Zul absen mengunjungi Jogja, bahkan sampai mereka menikah. Namun sayang, satu tahun sebelum kejadian, mereka tak lagi pulang.

Zul ingat di hari itu, ia berencana mengajak Lintang untuk ke Jogja saat makan malam, ia berniat membuat kejutan setelah pertengkaran dua hari lalu. Sebuah bom waktu yang akhirnya meledak di rumah tangga mereka.

Namun, manusia berencana, Tuhan pun berencana, suka suka Ia mau beri takdir apa.

Di tengah malam yang lengang di Jogja, saat lampu-lampu kota tinggal menjadi bintik-bintik keemasan di kejauhan, Zul menyusuri malam. Udara dingin gerimis menempel di jaketnya, ia berjalan tanpa tujuan—entah mencari sesuatu, atau ingin melupakan sesuatu. Matanya enggan terpejam, padahal besok pagi kompetisi dimulai.

Langkahnya terhenti ketika melewati gerbang kecil menuju sebuah gang yang dihiasi lampu temaram, ia melihat sosok wanita berdiri sendirian di bawah payung transparan. Payung itu memantulkan cahaya kuning lampu jalan sehingga wajahnya terlihat lembut meski sebagian tertutup bayangan. Kirana.

Ia menatap langit, seolah sedang mendengarkan sesuatu yang tidak didengar oleh dunia lain.

Agak ragu, Zul mendekat. Sekedar memastikan muridnya ini tidak sedang terasuki setan, atau apapun itu. Karena, seorang gadis yang berdiri diam di pinggir jalan pukul 10.30 malam sendirian kala hujan tentu bukan pemandangan yang ada setiap hari.

"Kamu sedang apa? Kenapa tidak istirahat? Besok kita ke venue pukul sembilan." Zul langsung merepet.

Kirana sedikit terkejut.

“Cari angin saja, pak.”

"Jangan terlalu lama, ini sudah malam, bahaya."

Begitu saja. Zul si bapak guru berlalu bergitu saja, meninggalkan Kirana meneruskan kontemplasinya. Ia lupa kalau gadis ini murid yang berada dalam pengawasannya. Ia memang tak peduli.

Kirana tak membalas sama sekali, tak pula menolehkan wajahnya. Ia seperti sedang terhanyut dalam dekapan hujan dan malam. Tatapannya sendu, memantulkan temaram lampu, jemarinya bergerak satu per satu, memainkan tuts yang hanya ada di dalam benaknya yang syahdu.

Langkah Zul terhenti setelah lima enam langkah menjauh. Lalu kembali memperhatikan Kirana. Bukan karena seketika ia sadar kalau ia bertanggung jawab kepada gadis itu, tapi karena ada sesuatu pada kehadiran Kirana, entah misteri atau ketenangan, yang membuat Zul menghentikan langkah tanpa sadar, seolah pertemuan ini sudah ditakdirkan jauh sebelum malam ini dimulai.

Satu menit

Dua menit

Lima menit berlalu.

Kirana mulai menyadari ada seseorang di dekatnya, menatapnya, menjaganya.

"Kukira bapak sudah pergi."

Zul menegakkan dirinya setelah lima menit bersandar dengan sebatang rokok tersumpal.

"Malam begini, kalau terjadi apa-apa kepadamu saya yang akan dimarahi kepala sekolah."

Kirana melangkah mendekat. Zul memperhatikan mata beningnya yang entah mengapa terlihat lebih cerah ketimbang hari-hari di sekolah.

"Temani saya, saya perlu jalan-jalan untuk persiapan besok," ucap Kirana.

Gerimis ini semakin mereda, sekali ini benar-benar menyisakan titik-titik air jatuh, serupa ribuan jarum menghujam bumi jika ia melewati sorot temaram lampu jalan. Zul berjalan selangkah di belakang Kirana, menyisiri jalan Sagan yang sama sekali tak ramai. Malah cenderung sepi dan remang. Menciptakan kombinasi sempurna antara aroma basah dan titik air hujan yang jatuh.

"Kamu mau ke mana?" tanya Zul dengan rokok yang masih tersumpal.

Kirana mengangkat bahunya, dan terus saja berjalan. Jemarinya masih aktif memainkan tuts fana-nya.

Zul menyadarinya sejak awal.

Lihat selengkapnya