Tadi pagi, kota ini menyambut dunia dengan cerah yang lembut, serupa senyum yang muncul tanpa paksaan. Matahari yang naik dari balik bukit Panguk Kediwung tanpa ragu mamandikan atap rumah-rumah tua dengan pesona arunika keemasannya. Pepohonan yang masih basah oleh rinai semalam pun tampak turut serta menyambutnya. Coba saja mendekat, oksigennya terasa berbeda, anyar, menghidupkan, membawa petrikor yang khas, seolah memberi waktu kepada manusianya untuk bernapas lebih dalam, bersinkronisasi lebih tepat dan memulai hari dengan doa yang baik. Sungguh harmoni yang menguduskan.
Lalu, tepat pukul sepuluh pagi, harmoni ini menjadi sempurna dengan denting hitam putih yang bersuara syahdu. Kirana di atas panggung, bersanding dengan piano, bukanlah Kirana yang sama. Gaun sederhananya memantulkan cahaya lampu, sementara jemarinya menari piawai di atas tuts-tus itu. Piano itu benar-benar dibuatnya bernyanyi.
Guru Zul dan seisi aula ini terdiam, hening, merasakan tone yang sama sekali berbeda dengan peserta lainnya, yang hanya bisa dimainkan oleh seorang Kirana. Ia membuat satu bagian terasa sedih, nada minor menyayat hati, lalu mengangkat seluruh sedih itu menjadi seketika ceria, lalu ia mengubahnya lagi menjadi amarah, dan terputar lagi menjadi kebahagiaan yang meluap-luap. Tiap interval terasa penuh. Dinamika, motif nada, semua berpadu menjadi sebuah drama yang seolah terlihat mata. Kirana tidak hanya memainkan not, ia sedang menafsirkan emosi alam, emosi dirinya, emosi seluruh orang di aula ini.
Gila, bahkan selevel guru Zul yang sama sekali tak paham musik, bisa dibawa terhanyut dalam lantunannya. Ia hanya bisa duduk tegak tak berkedip, seolah seluruh dunia telah surut kecuali gadis itu. Harmoni ini begitu jujur—kadang lembut seperti gerimis semalam, kadang mengalir deras seperti sungai penuh rindu. Guru Zul merasakan sesuatu yang sulit ia namai kekaguman, kebanggaan, dan sedikit ketakutan bahwa keindahan semacam ini bisa hilang kapan saja.
Standing applause bergemuruh lepas Kirana menyelesaikan nada terakhirnya. Tak ada reaksi berlebih dari dirinya selain diam, sunyi, dan kembali penuh misteri. Ia hanya membungkuk memberi salam, lalu turun begitu saja.
Guru Zul yang justru tampak berbeda. Ia terpukau, ada hangat merambah masuk di ruang-ruang tubuhnya, menciptakan sensasi tenang dan luruh bersamaan. Ia juga tiba-tiba memiliki kebanggaan diri sebagai guru, pendamping dari sang pianis yang tak diragukan akan menjuarai kompetisi ini.
Setelah makan siang, nama Kirana diumumkan sebagai juara. Tentu saja, kompetisi ini terlalu kecil baginya, Namun tak sedikitpun ia menahan diri, tak secuil puin ia mengecilkan kompetisi ini. Baginya, dimana pun ia bermain piano, di situlah ia menyatu dengan nada-nada itu, mengubah ruang dan waktu menjadi miliknya seorang. Ia hanya ingin bermain piano.
Wajahnya merona begitu namanya dipanggil, dan untuk sesaat Kirana tampak seperti bagian dari nada yang ia mainkan, rapuh, jernih dan tak terlupakan.
Beberapa jam kemudian, mereka berempat sudah berada di dalam kereta menuju Jakarta. Lagi-lagi hujan tipis menyapu kaca jendela, dan suasana kompartemen terasa tenang. Kirana dan dua temannya sibuk berbicara dan bermain ponsel, men- update hasil kompetisi masing-masing di linimasanya. Hanya Kirana yang juara utama, satunya menjadi juara tiga di instumen gitar sedang satunya tidak memenangkan seluruh kategori. Namun, kebahagiaan tergambar jelas di raut mereka, bukan tentang kemenangan saja, tapi tentang telah tuntasnya misi sekolah. Agak bangga juga rupanya mereka, karena telah mewakili sekolahnya.
Selang beberapa menit keberangkatan, juru siar menyiarkan persiapan. Zul melemparkan pandangannya ke luar, memperhatikan petugas PPKA yang berdiri tegap dengan atribut topi merahnya di tepi rel, memberi sinyal kalau jalur sudah aman dan siap dilintasi. Ia ingat kalau ia belum lagi berbicara dengan Kirana sejak semalam. Dari mulai sarapan hingga duduk di kursi ini, ia tak lebih mengucapkan tiga kalimat ini saja. “selamat pagi”, “ayo berangkat”, “selamat, ya”.