Motor tua itu berhenti tepat di depan gerbang sekolah April.
"Cepetan turun, udah sampai ini,"
ucapku sambil sedikit mendesah, menahan geram yang sejak tadi bergelut di dada.
April mendengus pelan, ekspresinya sebal setengah hati.
"Kamu kalau gak marah sehari aja, bisa gak sih?"
Nada suaranya ketus, tapi matanya—ah, matanya masih punya lembut yang selalu sama:
adik kecilku yang cerewet, tapi selalu kurindukan kalau jauh.
Aku hanya tertawa hambar.
"Ha... ha... ha... Kalau aja kamu gak ngeselin, aku bisa, Pril.
Tapi kamu emang paket lengkap: ribet, cerewet, manja, tapi... satu-satunya yang kupunya."
Ia turun dari motor, menatapku sebentar, lalu masuk ke gerbang sekolah.
Langkahnya cepat, seperti ingin lari dari sesuatu.
Atau mungkin... dari kenyataan.