Langkahku masuk ke kelas.
Ruangan tua dengan cat yang mengelupas, jendela yang sering macet kalau dibuka,
dan kursi-kursi reyot yang selalu bersuara kalau diduduki.
Tapi aku suka tempat ini.
Bukan karena bangunannya, tapi karena harapan yang tumbuh di tiap sudutnya.
Di sinilah aku mencoret-coret mimpi:
Renovasi rumah ibuk.
Bayarin April kuliah, biar jadi orang besar.
Punya motor baru yang bisa narik dengan angkuh, bukan yang harus didorong dulu baru nyala.
Tinggal satu tahun lagi.
Hanya dua belas bulan menuju pintu masa depan yang katanya akan terbuka lebar.
Tapi entah kenapa, hatiku terasa berat.
Ada sesuatu yang mengganjal di angin pagi ini.
Sesuatu yang belum bernama, tapi mulai menapak diam-diam.
Dalam Diam, Janji Itu Masih Kutarik Seerat Nafas