Langkahku terburu-buru menembus malam.
Motor tua kupacu seperti sedang melawan waktu,
seperti ingin mendahului nasib yang mungkin sedang menunggu di teras rumah.
Angin malam menusuk, tapi bukan itu yang membuatku menggigil.
Ada firasat yang menggumpal di dada—gelisah tanpa nama.
Lampu-lampu jalan kulewati tanpa benar-benar kulihat. Otakku hanya dipenuhi satu hal: April. Ibuk.
Dan kata "penting" yang belum sempat dijelaskan.
Di sepanjang jalan, kenangan-kenangan kecil berloncatan:
tawa ibuk di pagi hari, wajah April yang cerewet tapi selalu ada,
suara motor ini yang selalu jadi saksi perjalanan hidup kami.
Semua itu menari di mataku, seakan menyiapkan aku pada sesuatu…
sesuatu yang belum aku tahu, tapi akan mengubah semuanya.