Denting Rindu Bisik Asa

Asriwin
Chapter #3

Keputusan Istin

Keputusan Istin


Malam itu, Istin pulang ke apartemennya dengan kepala yang penuh. Langkahnya berat saat memasuki ruangan yang gelap, tempat yang dulu terasa nyaman, kini seperti menjadi saksi bisu dari semua beban yang ia pikul. Dia menjatuhkan tasnya ke lantai, membuka sepatu, dan langsung merebahkan diri di sofa.


Pikirannya kembali pada percakapan dengan Aril di kafe tadi. Kata-kata Aril berputar di benaknya seperti gema yang tak kunjung berhenti: "Kalau kamu ingin pergi, pastikan itu karena kamu yakin, bukan karena aku."


Namun, keyakinan itu justru terasa sulit ditemukan. Bagaimana mungkin ia yakin jika selama ini ia selalu dihantui oleh ketakutan? Ketakutan akan kesendirian, ketakutan akan penyesalan, dan ketakutan akan kehilangan apa yang telah ia bangun bersama Fajar selama bertahun-tahun.



---


Keesokan Harinya: Pertengkaran yang Pecah


Pagi itu, Istin memutuskan untuk berbicara dengan Fajar. Dia merasa tidak bisa terus membiarkan hubungan mereka seperti ini. Ketika Fajar akhirnya pulang setelah menghabiskan malam di luar bersama teman-temannya, Istin menyambutnya di ruang tamu.


"Kita perlu bicara," katanya dengan nada tegas yang jarang ia gunakan.


Fajar, yang masih setengah mengantuk, mengerutkan kening. "Sekarang? Aku baru saja sampai, Tin. Nggak bisakah nanti saja?"


"Selalu nanti. Tapi nanti itu nggak pernah datang, Fajar," balas Ristin, nadanya meninggi. "Aku nggak mau terus seperti ini. Aku lelah."


Fajar menghela napas panjang, lalu duduk di sofa. "Oke, kalau memang penting. Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?"


Istin menatapnya, mencoba mencari keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya. "Aku merasa hubungan ini sudah nggak sehat. Aku selalu merasa nggak cukup baik untuk kamu. Dan aku nggak tahu harus bagaimana lagi."


Fajar mengangkat alisnya, ekspresi wajahnya berubah menjadi dingin. "Nggak cukup baik? Tin, kamu itu memang suka lebay. Semua perempuan pasti punya kekurangan, tapi aku nggak pernah protes soal itu, kan?"


Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Istin. "Ini bukan tentang kekurangan, Fajar. Ini tentang bagaimana aku merasa nggak dihargai. Setiap kali aku mencoba bicara, kamu selalu memutarbalikkan semuanya."


"Jadi ini salahku sekarang?" balas Fajar, suaranya meninggi. "Kamu itu terlalu sensitif. Selalu mempermasalahkan hal kecil."


"Apa aku salah kalau ingin didengarkan?" Istin mulai menangis. "Aku cuma ingin kita saling mendukung. Tapi yang aku dapat selama ini hanya kritik dan tuntutan."


Fajar bangkit berdiri, frustrasi. "Kalau kamu nggak bisa menerima aku apa adanya, mungkin memang kita nggak cocok."


Kata-kata itu membuat Istin terdiam. Ia tahu Fajar mengatakannya dalam keadaan marah, tetapi di saat yang sama, itu terasa seperti konfirmasi dari apa yang selama ini ia rasakan.


"Kalau begitu, mungkin kita memang harus berhenti," katanya akhirnya, dengan suara gemetar.


Fajar menatapnya dengan mata membelalak. "Kamu serius?"


Istin mengangguk pelan. "Aku nggak tahu apakah ini keputusan yang benar. Tapi aku tahu aku nggak bisa terus begini. Aku butuh waktu untuk menemukan diriku lagi."


Fajar menghela napas panjang, lalu mengambil kunci mobilnya. "Kalau itu yang kamu mau, terserah." Dia berjalan keluar tanpa menoleh lagi, meninggalkan Istin sendirian di ruang tamu.



---


Beberapa Hari Kemudian: Pertemuan dengan Aril


Lihat selengkapnya