Seorang cewek dengan seragam lusuh dan kumal berjalan pelan keluar dari toilet sambil menunduk dalam. Dia menyembunyikan bekas luka bakar yang seperti membusuk di pipi kirinya, di balik surai hitam yang lurus namun kusut seperti tak terurus. Cewek itu terlalu sibuk menyembunyikan wajahnya saat seluruh siswa di lorong menertawai dan meneriakinya sebagai cewek bau, sampai-sampai tidak sadar kalau ada kaki seseorang yang menghalangi jalannya sampai dia jatuh tersungkur dan dengkulnya terluka. Suara tawa kian bergemuruh memenuhi sepanjang lorong gedung kesenian. Alih-alih ada tangan yang terulur memberi bantuan kepada cewek itu−Kulina, dia malah dipaksa berdiri dengan cara rambutnya ditarik kasar terlebih dahulu.
"Eh, cewek bau! Lo sekarang udah berani ngelawan gue, ya? Udah berani melanggar perintah gue, Iya?!" teriak Viola tepat di telinga Kulina si cewek lusuh.
Viola menambah kekuatan tarikannya di rambut Kulina sampai beberapa helai rambut cewek itu rontok.
"Gue nggak mau jadi babu lo lagi!" desis Kulina sembari mendelik sinis ke arah Viola dan teman-temannya.
Viola melempar Kulina ke samping sampai punggungnya menabrak pinggiran tembok yang tajam di dekat cermin wastafel. Kulina merintih menahan sakit yang menjalari punggungnya. "Lo siapa dan punya hak apa coba, hah? Cuma numpang beasiswa dari duit bokap gue aja sok belagu lo, sampe berani nggak ngerjain PR gue lagi!" Viola semakin meradang.
Pasalnya, saat pelajaran matematika tadi pagi Viola dimarahi oleh gurunya karena ketahuan tidak mengerjakan pekerjaan rumah di depan teman-temannya satu kelas. Bagi Viola hal itu sangat melukai harga diri dan mencoreng reputasinya sebagai murid teladan dan sekretaris OSIS. Ya, hal itu dikarenakan Kulina dengan sengaja tidak mengerjakan dua tugas seperti biasanya yang dimana tugas satunya akan diberikan kepada Viola.
"Kalau bukan karena punya wajah cantik, lo itu cuma seonggok daging nggak berguna, Viola!" Sembur Kulina tepat di hadapan wajah Viola yang disambut dengan sebuah tamparan keras di pipi kirinya. Mengoyak bekas luka bakar sampai mengeluarkan darah.
"Diam lo, bitch!" Teman-teman Viola saling bersahutan memaki-maki Kulina dengan kata-kata kasar seperti slut sambil sesekali mendorong bahu Kulina.
Seorang cewek yang berada di barisan depan kerumunan bersama teman-teman Viola yang sebelumnya hanya diam pun sekarang tersentak kaget melihat adegan kekerasan itu. Kakinya maju selangkah hendak menolong Kulina, tetapi buru-buru mengurungkan niatnya dengan memejamkan mata pasrah, tidak sanggup menyaksikan adegan itu lebih jauh lagi.
Viola kembali menarik kerah Kulina dan mendorongnya ke lantai, lalu menendangi perutnya tanpa ampun. "Jaga mulut kotor lo itu! Kuasa lo apa sampai-sampai berani ngatain gue kayak gitu? Dasar cewek sial nggak tahu diuntung!"
Dari sekian banyak siswa yang mengerubungi mereka, tidak ada satupun yang berani atau berniat melerai pertengkaran tersebut. Tidak ada yang mau berurusan dengan Viola. Bahkan sampai hal ini dilaporkan ke pihak berwajib sekalipun, Viola akan tetap lolos. Cewek itu memiliki kekuatan finansial yang cukup untuk membebaskannya dari segala macam kasus. Dia juga di-backup secara penuh oleh pihak sekolah, karena orang tuanya adalah donatur terbesar SMA Cahaya.
Kulina merasakan tubuhnya sudah hampir mati rasa, tidak ada tenaga tersisa bahkan untuk sekadar merintih saat dirinya bertemu pandang dengan netra cokelat yang memandangnya iba dari kejauhan. Kulina tahu orang itu, senior satu tingkat di atasnya. Kulina mengetahuinya karena cewek itu sedang ramai diperbincangkan siswa satu sekolah karena siaran radio tengah malam perdananya minggu lalu sukses menghipnotis para pendengar. Cewek pemilik netra cokelat dengan rambut hitam sebahu itu menatap Kulina dengan sorot iba dan ragu. Sepertinya dia sedang memiliki urusan yang sangat mendesak−dapat dilihat dari tumpukan map yang dibawanya. Namun Kulina membalas tatap netra itu dengan sorot memohon. Permohonan untuk menyelamatkannya, sekali ini saja.
Tentu saja Kulina tidak berharap banyak tentang pertolongan dari siapapun, namun ia tidak menyangka kalau cewek itu−Liora, hanya akan melangkah pergi meninggalkan kerumunan dan tidak mengindahkan permohonan yang ia sampaikan lewat isyarat. Sampai semuanya gelap bagi Kulina.
***
Liora baru saja selesai menyiapkan siaran keduanya saat ia keluar dari ruang siaran. Betapa terkejutnya saat mendapati seorang cewek korban kekerasan yang dilihatnya tadi kini berdiri di depan pintu dengan tatapan merah yang tajam. Cewek itu sepertinya sudah menangis terlalu lama.
"H-hai ...," sapa Liora canggung. Ia tahu kalau keputusannya tadi salah. Tapi Liora juga tidak bisa mengabaikan siarannya begitu saja.
"Lo cewek yang adu mulut sama Viola tadi, ya?" Liora berusaha memecah keheningan, tapi cewek itu tetap saja bungkam. "Lo−" Belum sempat Liora menyelesaikan kata-katanya, cewek itu buru-buru menyela.
"Kulina," katanya.
Kulina melihat beberapa siswa yang menuju ruang musik di dekat mereka sambil berbisik-bisik dan melirik Liora dengan heran. Sedangkan sorot mereka jelas-jelas memandang Kulina dengan rendah meskipun tanpa suara. Kulina memejamkan mata, membiarkan airmatanya luruh bersama kesabaran sebelum dia memutuskan untuk berbicara. "Gue harap lo nggak akan pernah menyesal mengenal gue, Kak Liora."
Liora memandang beberapa siswa yang melewati mereka dengan canggung. Sebenarnya ia merasa risih ditatap seperti itu saat bersama Kulina. Liora merasa seperti popularitasnya tiba-tiba redup saat bersama Kulina. Melihat hal itu membuat Kulina mendengus dengan seringaian miris.
"Gue kira lo beda." Kulina menatap lurus ke mata Liora. "Ternyata lo sama aja. Lo sama seperti anak-anak lain yang memandang gue nggak lebih dari kuman yang harus dibasmi!" Kulina setengah membentak, membuat semua pasang mata memperhatikannya dan Liora.
"Hah?" Liora semakin tidak mengerti.