Ekskul siaran belum mendapat izin oleh guru untuk diaktifkan kembali. Lizzy tahu, itu alasan masuk akal untuk marah dan kesal. Tapi Liora bertingkah berbeda. Seakan ada dinding yang mulai dibangun Liora untuk membatasi mereka. Ia benci mengakui itu tapi kenyataanya memang demikian.
Lizzy memutuskan meminjam buku yang sama dengan yang ia tunjukkan ke Liora. Pustakawan tampak heran karena kurang dua jam yang lalu meminjam buku 13 Dark games bersama sahabatnya. Sebab pintar mengarang, cewek itu membuat alasan apa saja agar bisa dipinjami. Berkata haus ilmu pengetahuan hingga perlu referensi untuk membuat cerita pendek agar berhasil masuk koran lokal. Di kelas hingga jam pulang, Lizzy tak berminat menceritakan hal tersebut. Jadi ketika Liora memutuskan untuk tidak banyak bicara saat perjalanan pulang, ia melakukan hal yang sama persis. Diam malah membungkus mereka melangkah ke arah berbeda.
Lizzy membanting tubuhnya ke dipan. Hari ketiga saat mereka lebih banyak bungkam. Membicarakan PR jika perlu, mengajak makan di kantin tapi sekarang keduanya sibuk dengan makanan di bekal masing-masing dan percakapan tentang siapa cowok paling keren mulai terasa hambar. Manik matanya mengamati langit-langit kamar. Mencari bintang. Ia tak bisa melihatnya sekarang. Karena cahaya senja menerobos jendela kamar.
Burung bercicit riang di dahan-dahan pohon. Sedangkan bintang-bintang tersebut hanya terlihat saat malam. Liora niat sekali menggambar menggunakan fosfor agar menyala ketika gelap. Ketika memikirkan hal tersebut, benaknya melayang kepercakapan singkat saat pulang. Bukan sekadar bahan obrolan. Nadanya serius. Suara penuh kehati-hatiaan. Membuatnya menduga-duga hingga sekarang.
"Lizzy, gue mau nanya sesuatu. Boleh?"
"Boleh."
"Apa alasan orang memutuskan mengakhiri hidupnya?"
"Ketika orang itu tak memiliki alasan untuk menjalani kehidupannya."
"Kenapa seseorang perlu alasan untuk hidup?"
"Karena tanpa alasan, seseorang tidak akan tahu apa tujuannya hidup."
"Apa mungkin Kulina bunuh diri?"
"Masih lo pikirin?"
Pertanyaan retoris. Liora mengangguk.
"Mau cerita?"
Liora menggeleng. Percakapan tidak diteruskan karena sudah sampai di rumahnya.
***
Hari berikutnya, Lizzy memperhatikan ada sorot berbeda dari Liora. Ada kantong mata yang semakin lama semakin menebal. Cewek itu juga menghindari kontak mata dengan Lizzy saat memasuki kelas. Liora langsung duduk dan mengeluarkan buku dari tasnya. Buku matematika. Sedangkan tidak ada mata pelajaran itu hari ini.
"Lo baik-baik aja?" tanya Lizzy hati-hati. Liora bungkam.
"Jam pertama Bahasa Indonesia." Lizzy memberitahu, setengah berbisik, seakan sedang memberi informasi penting.
Liora tak langsung menjawab, pandangannya menggembara mengamati ruang kelas. Seolah ia baru saja memasuki ruangan ini. Matanya sesekali melirik Lizzy. Tapi sepersekian detik saja. Lantas asik dengan susunan bangku dan meja. Tidak ada yang baik dengan kondisi ini. Liora bertingkah bagai orang gila. Karena itu, sepulang sekolah, Lizzy mencoba mengulur waktu. Dan mengajak Liora minum di kantin. Cewek tersebut menurut saja.
"Ada apa?" tanya Lizzy.
Liora menggeleng. "Nggak ada apa-apa."
"Tadi di kelas kok diem aja?" Lizzy menggeser bangkunya mendekati bangku Liora.
"Emang nggak boleh, ya?"
"Boleh, sih. Ada yang mau diceritain?"
"Nggak ada, tuh."