“MALING!”
Gadis berkucir kuda itu lari tunggang-langgang menerobos jalanan becek Kota Jambi yang beberapa waktu lalu diguyur hujan lebat. Di tengah malam suntuk nan menggigil ini, ia dikejar-kejar oleh seorang mbak-mbak minimarket dari tempatnya melakukan sebuah aksi pencurian.
Demi Tuhan, ia tak seberdosa itu hingga harus disumpah serapah sepanjang jalan hanya karena mencuri dua bungkus roti seharga dua ribuan. Dalam hati ia merutuk, merasa begitu hina karena harus mencuri barang tak seberapa. Namun, dia dan adiknya harus bertahan hidup. Jika menjadi hina bisa menjaga nyawanya, tak mengapa, asal tak tertangkap, hal ini patut dibanggakan.
“Dek, balikin roti murahan itu, woi! Ntar gara-gara kamu malah gajiku yang dipotong!”
Gadis itu, Nella Himela, menoleh ke belakang sambil berteriak, “Mbak, jangan kejar saya lagi, dong! Masa Mbak tega bener sama anak miskin kayak saya!”
Mbak-mbak itu berhenti. Bukan, bukan karena ia tersentuh dengan ucapan Nella, tetapi kaki payahnya sudah tak kuat lagi untuk digerakkan. Ia yang saat sekolah hanya pernah berlari sejauh lima meter tak bisa memungkiri jika gadis pencuri itu dapat berlari secepat kilat.
“Di saat seperti inilah aku nyesel jadi kaum rebahan,” gumamnya sambil mengelus dada, nelangsa harus membayar roti murahan yang bahkan, dicicipinya secuil pun tidak.
Sedangkan Nella yang lolos dari kejaran mbak-mbak minimarket itu tak bisa menyembunyikan senyuman penuh kejemawaannya. Ini adalah aksi pertamanya dalam mencuri dan ia telah melakukannya sebaik ini. Bakat terpendamnya benar-benar luar biasa.
Karena tak memperhatikan depan dan sibuk membanggakan bakat terpendamnya, Nella menabrak seorang pesepeda hingga keduanya tersungkur ke aspal, tepat di atas sebuah genangan air berwarna keruh.
Buru-buru Seira mengecek roti curiannya dan bernapas lega karena roti isi cokelat mentega itu tak terkena percikan air kotor sedikit pun.
“Ehem.”
Nella mendongak, lupa kalau dirinya baru saja menabrak seorang pesepeda. Lamat-lamat ia perhatikan. Laki-laki itu bersurai gondrong dengan tatapan sayu yang entah mengapa membuat Nella bergidik ngeri. Betul-betul tipikal dari seorang preman begal yang hobi mabuk-mabukan, pikirnya.
“Maafin, saya, Mas! Saya nggak lihat tadi!”