~Pertemuan ini bukanlah sekadar kebetulan karena benang merah benar-benar telah melintasi dua makhluk Tuhan yang tak pernah berjalan searah~
***
“NETTA, lihat kaus kaki gue nggak?”
Kegaduhan yang ditimbulkan oleh gadis bersurai legam itu mengusik Netta Himeta, adik kandung Nella Himela yang telah berseragam sekolah lengkap. Ia hanya bisa menghela napas dan menunda sarapan paginya sekadar membantu kakak tercintanya mencari kaus kaki sialan yang selalu menghilang di pagi hari. Ia kesal, sungguh kesal karena lagi-lagi Nella mengganggu kesenangannya, yaitu menonton kartun kucing dan tikus yang selalu mencari perkara satu sama lain.
“Memangnya Kak Nella taruh di mana kemarin?”
“Nggak tahu. Perasaan udah gue lipat terus masukin ke lemari, deh.”
Netta memutar bola matanya malas. Ucapan Nella sama sekali tak membantu. Coba katakan padanya, bagaimana bisa kaus kaki itu menghilang setiap hari di dalam ruangan sekecil ini? Agaknya siapa yang sudi mencuri kaus kaki yang sudah dicuci berulang kali hingga melar itu?
Jam dinding telah menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit dan Nella masih saja sibuk mencari kaus kaki. Terkadang Netta tak habis pikir, bagaimana Nella bisa lahir duluan darinya?
Setelah mencari ke seluruh tempat, Netta tak sengaja melihat benda aneh menyelip di belakang televisi. Dengan langkah malas, ia menghampiri benda itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi di hadapan Nella.
“Bisa jelaskan kenapa kaus kaki yang katanya sudah dilipat ini bisa nyempil di belakang televisi?”
Nella menyengir tak berdosa. “Adek gue emang paling jago kalo soal nyari barang hilang.”
“Dikira aku anjing pelacak apa,” gerutu Netta sambil memberikan kaus kaki Nella. “Kak Nella yang dewasa, dong. Masa hal sepele gini aja masih perlu bantuanku. Kak Nella lupa kalo kita nggak tinggal di Jakarta lagi? Mama juga udah nggak sama kita lagi.”
Nella mencibir dan menjitak pelan dahi Netta hingga membuat empunya merengut kesal. Namun, Netta tahu, kematian ibu mereka adalah beban terberat bagi Nella karena gadis bermanik kelam itu harus menghidupi Netta seorang diri. Belum lagi ayah mereka yang membuat keputusan egois untuk menikah lagi dan membawa mereka pergi jauh dari kota kelahiran yang menyimpan begitu banyak memori indah bersama mama terkasih.
“Gue berangkat dulu, ya. Udah telat banget soalnya.”
Netta hanya mengangguk dan membiarkan Nella berlalu. Lamat-lamat ia berpikir, agaknya kapan ia dapat membahagiakan Nella dan menggantikan posisi gadis malang itu untuk menafkahi mereka berdua? Di dunia ini, ia hanya punya Nella, wajar baginya untuk terus bergantung dan menempel erat pada Nella. Namun, akan tiba masanya mereka harus berpisah. Sebelum waktu itu tiba, Netta ingin membalas segala kebaikan Nella padanya.
Ketika maniknya tak sengaja menangkap benda familier yang tergeletak di atas lantai, ia menghela napas lelah.
“Kok, bisa, sih, dia lupa bawa tas sekolahnya, ya Tuhan! Kak Nella goblok!”
Netta segera mengambil tasnya dan menyeret tas Nella, berniat meletakkannya di depan pintu indekos mereka. Sekarang ia benar-benar tak peduli siapa gerangan yang akan mengambil tas butut ini. Percuma, percuma ia khawatir pada Nella, toh empunya nama juga takkan peduli.
Sedangkan Nella yang sudah berjalan beberapa meter dari indekos sembari bersiul riang, benar-benar melupakan tas sekolahnya yang masih tergeletak lesu di depan pintu. Namun, otak bodohnya baru teringat hal itu beberapa menit setelah ia berjalan cukup jauh dari indekos. Nella memelotot kaget, ia menepuk keras dahinya hingga berubah warna menjadi merah muda.
“Ya ampun, gue lupa bawa tas!”
Nella kalang kabut, ia panik setengah mati sekarang. Mau pulang dan mengambil tas pun sudah tak sempat karena sebentar lagi upacara akan dimulai dan gerbang sekolah otomatis ditutup. Namun, jika ia tak membawa tas, bagaimana caranya untuk mengikuti pelajaran nanti?
Nella memutar otak, memikirkan sekiranya adakah tugas sekolah yang diberikan oleh guru untuk dikumpulkan hari ini. Jika tidak ada, ia akan nekat ke sekolah tanpa tas. Itu adalah pilihan termumpuni yang ia punya. Namun, tunggu. Mengapa ia merasa begitu janggal akan hal ini?
“Bentar. Kayaknya gue baru naik ke kelas sebelas, deh.”