IRIS kelam Nella berkedut. Kini otak kecilnya tengah mencari-cari suatu informasi terkait identitas siswa tinggi di sampingnya. Ketika tersadar, Nella berseru keras, mengagetkan seluruh penghuni kelas yang masih fokus menatap Deon, terutama para siswi yang menaruh minat pada ketampanan Deon walaupun wajah mengantuk itu cukup mengesalkan.
“Lo adeknya mas-mas yang maling roti gue kemarin, ‘kan?!”
“Hah?”
Nella membelalak. Sama! Reaksi yang Deon berikan sama seperti reaksi mas-mas yang ditabraknya kemarin. Bahkan, mereka berdua sangat mirip. Bagaimana Nella tak menerka-nerka jika keduanya memiliki hubungan darah?
“Adek mas-mas yang kemarin?” Deon menggaruk tengkuknya, kebiasaan yang ia lakukan ketika merasa bingung. “Asal kamu tahu, aku itu orang yang sama dengan mas-mas yang kamu sebut.”
Nella menganga tak percaya, hampir saja seekor lalat singgah di dalam mulutnya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa siswa ini adalah orang yang kemarin ditabraknya? Jelas mereka berbeda! Dari segi mana pun Nella menilai, tetap saja wajah Deon jauh lebih tampan dari mas-mas menyebalkan kemarin.
“Nggak, nggak mungkin! Mas-mas yang kemarin mukanya burik, dekil, ngeselin, nyimeng! Lo nggak ka—” Nella menjeda kalimatnya, merasa ada yang aneh dengan wajah tersenyum Deon. Tidak, siswa itu tak lebih tampan dari mas-mas kemarin, begitu pula sebaliknya karena ketika Nella melihat senyuman itu, jiwa pejantan tangguhnya muncul, hendak meleburkan wajah Deon yang terlihat begitu mencemooh.
Dengan langkah lebar, Nella menghampiri Deon, hendak melayangkan satu pukulan telak di wajah kalem pemuda yang memiliki tahi lalat di pelipisnya itu. Nahas, Nella tersandung kakinya sendiri hingga menyebabkan empunya tubuh terjerembab menghantam kerasnya lantai kelas. Malangnya lagi, ia jatuh tepat di depan Deon. Bahkan, tepat di depan seluruh penghuni kelas yang mulai menertawakan kebodohannya.
Semasa kelas sepuluh, mereka sering melihat hal ini, justru sudah sangat familier, tetapi tidakkah Dewi Fortuna benar-benar mengutuk keberuntungan Nella? Bagaimana bisa gadis berkucir kuda itu terjatuh di depan kelas dengan pose yang sungguh memalukan; bokongnya menungging ke arah pintu keluar.
“Nangkap kodok nggak segitunya kali, Nell!” sindir Lasria sambil cekikikan. Ia adalah siswi paling ngegas di kelas sebelas Akuntansi satu. Jika siswi bermarga Simatupang itu mempresentasikan tugasnya, maka tak satu pun orang di kelas ini akan bertanya padanya. Tentu jika setidaknya mereka masih sayang nyawa.
Lekas-lekas Nella bangkit sembari mengelus dahinya yang memerah. Bertemu dengan Deon justru menambah-nambah kesialannya. Sungguh, Nella tak tahu lagi bagaimana ia dapat mengekspresikan kekesalannya pada pemuda berwajah mengantuk itu.
“Kamu nggak apa-apa?”
Nella mendongak, menabraknya netra kelamnya pada wajah khawatir milik Deon yang kini telah berjongkok di hadapannya. Yang benar saja, mengapa pemuda itu tak ikut menertawakan kebodohannya? Mengapa ia malah menolongnya? Bukankah sekarang ia terlihat seperti pemeran antagonis di dalam cerita fiksi?
Tangan pemuda itu terulur, hendak menyentuh dahi Nella yang memerah. “Kamu selalu terjatuh ketika bertemu denganku. Lain kali hati-hati, aku nggak mau disalahkan karena kebodohanmu sendiri.”
Nella mencibir dan menepis tangan Deon. Ia benar-benar gengsi sekadar mengakui kecerobohannya di depan Deon. Tidak, pemuda bosan hidup itu tak boleh mengetahui kelemahannya, tetapi bagaimana? Bahkan, ia tahu Nella mencuri dari sebuah minimarket kala itu. Jika Deon bermulut ember, habislah sudah masa depannya.
“Ehem!”