Der Traum

Yusnawati
Chapter #2

Rahasia Ayah

Kepalaku terasa berat, bayangan laki-laki tua yang berjalan di depanku tadi terus menghantuiku. Selalu saja begini, di saat semuanya baiik-baik saja. Kenangan-kenangan di masa lalu muncul dengan tiba-tiba. Membuatku harus mengingat lagi episode kehidupan paling buruk yang pernah terjadi. Sepanjang jalan, aku tak bisa fokus mengendarai motor. Beberapa kali stang motorku hampir menyerempet sepeda motor lainnya. Tubuhku rasanya oleng. Untung saja, bunyi klakson nyaring itu membuatku tersadar dari lamunan.

 “Assalamualaikum, Bu... aku pulang!” tak ada jawaban. Kondisi rumah di sore ini, sepi sekali. Biasanya Ibu selalu menungguku di teras rumah. Duduk-duduk bersama ketiga keponakanku. Wajah itu yang selalu kutunggu, setiap mau pulang ke rumah

 Setelah memarkir sepeda di depan rumah, aku segera masuk, cuci tangan lali mencari dimana wanita yang kucintai. Tubuhnya kupeluk dengan erat, bibirku mendaratkan ciuman sayang di kedua pipinya. 

“Maafkan aku Bu, belum bisa membahagiakanmu” bulir-bulir bening jatuh membasahi wajahku.  Melihat rambutnya yang memutih, gigi-giginya yang tanggal dan raganya yang sudah menua, membuatku semakin iba.

Ku rebahkan tubuhku di sampingnya. Menikmati kehangatan sambil memeluk tangannya. Dulu sewaktu kecil, aku dan Bintang sering berebut tangan Ibu. Sampai Ibu kewalahan menghadapi tingkah kami. 

“Kamu pegang yang Kanan Bintang, kalau aku yang sebelah kiri.” Aku berusaha merajuknya, agar Bintang melepaskan tangan kanan Ibu. Tapi ia tidak mau. Tangan kanan Ibu memang berbeda sentuhannya. Lebih nyaman dibandingkan tangan kirinya. Entahlah apa ini hanya perasaanku saja. Yang pasti kami berdua selalu berebut, hingga Mbak Cahya datang membawa  sapu. Baru kami akur.

Hari ini adalah hari yang melelahkan, tak ada jam istirahat. Melakukan analisis sampel bahan obat, membuatku harus fokus pada serangkaian proses pengujian di laboratorium. Lebih dari lima jam aku berdiri dan menghabiskan waktu di sana. Melakukan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) atau biasa disebut kromatografi cair kinerja tinggi. Kakiku terasa kram, keseimbangan tubuhku mulai tak stabil. Sementara partner kerjaku tidak bisa diandalkan. Kerjanya lambat dan sering mengeluh.

  Mataku masih menatap langit langit rumah, sembari memikirkan hasil tes yang dua hari lagi akan segera diumumkan. Bismillah, semoga bisa diterima di universitas negeri. Kalau melihat ujian kemarin, soal-soalnya bisa kutaklukkan. Besar kemungkinan aku lulus tes. Tak ia-sia belajar selama dua bulan. Tiap malam hampir tak pernah tidur. Terus berlatih. Harapanku, semoga sesuai dengan ekspektasi.

“Brakkk ....” suara pintu yang dibuka terdengar sangat keras. Sepertinya Bintang sudah pulang dari kerja. Saat masuk ke dalam kamar, wajahnya tampak kusut. Aku hanya memperhatikan gerak-geriknya. Ia melempar tas kerjanya, kemudian duduk sambil menatap layar gawainya.

“Sial, awas kau Rianti.” Ia terus mengumpat, sepertinya ada kejadian tidak menyenangkan yang dialaminya di tempat kerja.

“Kamu kenapa, pulang-pulang langsung marah-marah?” Bintang hanya terdiam. Ia masih asyik dengan gawainya. 

“Biasa, Rianti yang sok senior itu berbuat rusuh. Dia menuduhku melakukan pemalsuan data. Aku masih berusaha diam, karena menghormatinya sebagai seniorku. Tapi kalau setiap hari dia berbuat seperti itu. Aku harus melawannya.” Ujarnya dengan nada geram sambil mengepalkan tangan.

Lihat selengkapnya