Aku tak pernah menyangka, jalinan persaudaraan akan berubah setelah pernikahan. Secepat itu dan sedramastis cerita sinetron. Yang dulu menghabiskan waktu bersama, kini seolah lupa kalau masih ada ikatan darah. Hingga aku bertanya pada diriku sendiri. Apa semua orang juga melewati fase ini? karena begitu seringnya konflik terjadi.
Tak layak disebut kakak tertua, jika sifatnya tidak berubah. Egois! sejak Mbak Anggun menikah dan memilih tinggal di rumah Ibu. Muncul banyak konflik, terutama antara dia dan suaminya. Beruntung Mbak Anggun dianugerahi suami yang sabar, pengertian, tidak pernah membalas perlakuan kasarnya. Hal sepele bisa menjadi bom yang meledak setiap hari. Jodoh itu memang unik, selalu berlawanan dengan sifat pasangan. Cekatan vs klemar-klemer (kurang sigap), pendiam vs ceriwis, rajin vs malas, rapi vs berantakan. Tapi di sana keunikannya, kedua karakter bisa menyatu. Dan tantangan di lima tahun pertama memang berat. Harus belajar menyesuaikan, saling memahami antara pasangan, mengalahkan ego dan saling menyempurnakan kekurangan satu dengan yang lainnya.
Jika belum tuntas, maka pernikahan akan berakhir di meja hijau. Atau berjalan seperti baik-baik saja. Masing-masing pasangan mencari kesenangan sendiri melalui perselingkuhan. Auwuw....
Lain halnya dengan Mas Toni, suami Mbak Anggun yang punya ritme hidup serba tak teratur, suka naruh barang sembarangan, pakaian tidak rapi, tidak peka terhadap kondisi keluarga. Sering membuat Mbak Anggun berkata kasar, mengucap sumpah serapah. Apalagi posisi Mbak Anggun yang pendidikan terakhirnya S1. Makin merasa menang dan lebih tinggi, dibandingkan suaminya yang hanya lulusan STM.
Parah pokoknya, bisa senewen kalau dengar pasangan ini cekcok tiap hari. Pasang headset lalu tutup kamar. Itu cara aman. Waktu itu belum menikah hubunganku dengan Mbak Anggun, masih baik-baik saja. Namun, semua berubah sejak aku menikah. Saat aku memutuskan tinggal di rumah Ibu agar ada yang membantu merawat bayi setelah aku melahirkan. Bagaimanapun ini adalah pengalamanku yang pertama. Berada di dekat Ibu, adalah salah satu bentuk kenyamanan. Awalnya, kepindahanku ke sini akan berjalan sebagaimana mestinya. Tetapi aku salah. Justru ini awal terjadi konflik dari mulai yang ringan hingga level yang rumit. Seperti bermain game, sensasi ketegangan akan berbeda di tiap levelnya. Gak percaya, cobain gih.
“Cahya, tolong ambilkan air minum!”
“Cahya, tolong kembalikan baju-baju yang sudah kulipat!”
“Cahya, tolongggg....!” fix aku menyandang gelar baru. Asistennya Mbak Anggun. Apalagi aku tak bekerja, seharian hanya di rumah. Merawat Akbar, anak pertamaku. Dan satu kelemahan yang paling kubenci adalah aku tak pernah bisa menolak permintaan Mbak Anggun.
Emang benar kata pepatah, bila dalam satu keluarga ada dua kepala keluarga yang menetap bersama dalam satu atap, hubungan mereka takkan pernah akur. Dan pepatah itu ternyata benar. Saat Mbak Anggun mengatakan, jika ia tak terbiasa minum dengan air selain merk Aq**, tidak mau menggunakan elpiji subsidi. Maunya pake tabung biru dengan logo gazz yang terjamin keamanannya. Aku langsung meradang.
“Kau tak pernah memikirkan Ibu, beda denganku. Bahkan sampai hal terkecil pun aku selalu memperhatikannya. Kau ingin membahayakan keselamatan Ibu? Dengan terus menggunakan produk murahan?” Haduh, kalau udah gini. Mending diam dan langsung pergi. Kalau gak mau sakit hati dengan kata-katanya. Nyeri sampai ke ulu hati.