Malaikat tak bersayap itu, akhirnya tumbang juga. Fisiknya makin melemah, hanya bisa berbaring di tempat tidur. Yang paling kutakutkan di kondisi seperti ini adalah saat Ibu sering mengigau, bicaranya melantur ke mana-mana. Membuatku khawatir. Berwasiat dan berpesan tentang kematian termasuk akan dikuburkan di mana setelah meninggal. Tak lagi punya semangat hidup, hanya tatapan kosong.
Karena memikirkan sakit yang dideritanya, gula darah Ibu naik. Berimbas pada kedua matanya yang tak jelas melihat apapun. Berulangkali, kusarankan kepada beliau. Jika butuh sesuatu teriak, panggil namaku. Karena akan berbahaya, dengan penglihatan yang buram Ibu tetap nekad mengambil sesuatu.
Tapi Ibu terus saja melanggar aturan, beliau tak mau merepotkan anak-anaknya. Sambil berjalan tertatih-tatih, Ibu bangun dari tempat tidur. Tangannya meraba-raba dinding kamar, agar tidak jatuh. Hanya untuk mengambil segelas air minum.
Wajahnya semakin menua, tubuhnya kurus kering. Nafsu makannya berkurang drastis. Jika tubuhnya lama tak ada gerakan, segera kudekati. Kusentuh hidungnya, dan merasakan nafasnya yang keluar dari lubang hidung. Ketakutanku kehilangan sosok Ibu sangat besar.
“Cahya, sepertinya Ibu tak lama lagi di dunia ini. Setiap malam aku melihat dua orang berbaju hitam berkeliaran di rumah. Memandangiku dari jauh. Apa mereka dua malaikat maut yang akan mengambil nyawaku?” ujarnya lirih dengan tatapan mata kosong.
“Tidak, Ibu harus semangat untuk sembuh. Jangan lagi berkata seperti itu, Bu! Itu semua hanya efek dari naiknya gula darah, sehingga Ibu berhalusinasi.” Aku berusaha menenangkannya. Agar Ibu tak memikirkan tentang sesuatu yang aneh.
“Tapi Cahya itu bukan mimpi nak, aku melihat jelas kedua orang itu. Mereka berdiri di pojokan kamar dan terus menatapku. Bahkan malam kemarin, aku bermimpi buruk.” Wajah ibu langsung tertunduk. Tak bisa melanjutkan kata-katanya dan terdiam cukup lama.
“Mimpi buruk apa, Bu! Ayo katakan.” kali ini giliran ritme jantungku yang berdetak makin kencang. Membuat tubuhku bergetar. Ya Robb, mimpi buruk apa?
Ibu tak menjawab, hanya menangis. Aku semakin bingung harus berbuat apa. Tak ada orang di rumah ini. Mbak Anggun mengajar di sekolah, kedua adik kembarku bekerja, suamiku dan kakak ipar juga bekerja. Hanya ada anakku dan keponakan. Mereka tak bisa diajak bertukar pikiran.
“Ayo Bu, ceritakan mimpi itu.” Aku berusaha membujuknya dengan halus agar Ibu segera menceritakan.
Lama Ibu terdiam. Masih antara ragu bercerita atau merahasiakan mimpi aneh itu. Karena mengingatnya, sama halnya membuatnya bersedih. Tapi, akhirnya Ibu memilih bercerita.
“Dua hari yang lalu aku melihat dalam mimpiku, ada sekumpulan orang-orang membawa keranda jenazah, mereka semua berjalan melewati rumah ini. Di belakang rombongan pengantar jenazah, aku melihat kamu, Anggun, Binar dan Bintang menanggis sesenggukan.”
“Ada apa ini, mengapa banyak orang berdatangan ke rumahku?” mereka semua menangis. Saat kutanyakan tentang apa yang terjadi. Tak ada satupun dari mereka yang menjawabnya. Hanya tertunduk dan terdiam, beberapa ada yang meronce bunga melati dan berbisik tentang sesuatu hal yang aku tak tahu. Karena penasaran, kukejar para pembawa jenazah yang sedang berjalan,
“Pak, tunggu.... !” rombongan pembawa jenazah berhenti. Saat kutanyakan siapa yang meninggal. Mereka juga sama diam. Hanya menatapku, tak berbicara sepatah katapun. Kemudian pembawa keranda itu menurunkan jenazah yang dibawanya tepat dihadapanku. Saat mereka membuka penutup hijau, aku kaget. Ternyata jenazah yang meninggal dan dibungkus kain kafan itu adalah AKU.