Der Traum

Yusnawati
Chapter #6

Bab 6: SEPATU BALLY

Hawa dingin yang menyelimuti tubuh ringkih itu, membuatnya semakin menggigil. Bukan hanya sekali saja laki-laki itu merasakan kedinginan yang hebat. Berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan dingin menjadi teman setia si laki-laki. Hanya ruangan berukuran 3x3 cm yang menjadi rumah singgahnya untuk bertahan hidup. Sebuah tempat yang tak cukup layak untuk ditinggali.

Bangunan bekas poskamling yang sudah lama tidak difungsikan. Karena di perumahan elite ini sudah menyediakan tempat yang sangat layak bagi seorang security yang berjaga untuk keamanan di lingkungan mereka. Dengan tempat yang lebih bagus, lebih luas, lebih strategis dengan fasilitas lengkap. Mulai dari televisi, kulkas dan kipas angin. 

Beda dengan bangunan yang ditinggali lelaki tua. Pintunya sudah rusak, tidak bisa ditutup. Sering berderit jika dipaksakan. Atap bangunannya ada yang bocor, Jika hujan air akan menetes masuk ke dalam ruangan ini. Lumayan untuk tempat berteduh dari panasnya matahari dan dingin ketimbang tidur di luar. Tapi, malam ini hujan teramat deras disertai petir yang bunyinya membuat gendang telinga serasa mau pecah.

Hujan yang disertai angin kencang. Membuat siapapun merinding menyaksikan fenomena alam ini. Pohon-pohon bergoyang dihajar sang angin. Hujan malam ini sangat berbahaya bagi siapapun yang ada di luar. Tanpa selimut tebal, tanpa makanan dan minuman hangat. Aku tak tahu, sampai berapa lama ia kuat melawan dingin. Dengan kondisi tubuh yang menua, daya tahannya rendah. Laki-laki itu membisu, dalam ringkihan. 

   Tak ada lagi yang mau menampungnya, bahkan teman terbaik yang dulu bersama-sama menolaknya dengan halus. Tak ada teman yang loyal yang ada hanya kepentingan. Tinggalah ia dalam kesendirian ditemani suara jangkrik dan serbuan nyamuk ganas di malam hari. Sepi dan selalu seperti ini.

Berulangkali dirogohnya saku celana, hanya tinggal beberapa lembar uang ribuan dan dua puluhan yang cukup bertahan beberapa hari saja. Jiwanya berteriak mengadukan nasibnya yang begitu tragis kepada sang Pencipta. Kesombongan yang selama ini ia punya, runtuh juga. Ia takluk dan butuh Tuhan.

   “Tuhan, beri aku kesempatan. Untuk bertahan hidup. Tolonglah aku ....!” air matanya menetes membasahi pipinya yang keriput seiring dengan derasnya hujan. Doa-doa yang begitu kuat diucapkan di saat hujan deras, diyakini menjadi doa yang istijabah. Tiba-tiba keinginan untuk kembali begitu besar. Tapi perasaannya yang lain, berkata tidak.

***********

   Mimpi. Semua orang bebas bermimpi. Termasuk diriku. Karena impianlah yang membuat seseorang hidup, semangat untuk menapaki jalan kehidupan dan berjuang untuk meraihnya. Dan aku belajar tentang mimpi dari kisah Bung Hatta dan sepatu ballynya. Merk sepatu yang sangat terkenal di era tahun 1950, bermutu tinggi dan harganya pun tidak murah. Sangat diidamkan untuk dimiliki Bung Hatta. Karena beliau belum mampu membeli sepatu itu, saat tak sengaja membaca iklan sepatu di koran. Beliau menggunting potongan iklan sepatu bally, menyimpannya di buku harian. Meskipun hingga akhir hayatnya, kisah ini hanya menjadi impian saja dan belum pernah terwujud. 

Hari ini papan mimpiku sudah selesai kutuliskan dan siap ditempel di dinding kamar. Aku ingin seperti Bung Hata yang selalu mengingat mimpinya. Mimpi yang membuat siapapun yang membaca akan terkejut, terbeliak dan takjub akan duniaku. Dalam tahun ini kutuliskan, mimpiku bisa Go Internasional. Secepat itu, iya? tak perlu menunggu lama untuk mencapainya. Hari ini sebuah program pelaksanaan mimpi akan dimulai. Aku akan bekerja keras untuk memenangkan mimpi itu.

   Mbak Cahya, Mbak Anggun langsung merinding melihat papan mimpiku. Apalagi kembaranku Binar. Ia semakin minder dan kurang percaya diri.

   “Mimpimu hebat sekali dik, aku sangat salut kepadamu.” Ujar Mbak Cahya kagum dan tak percaya aku punya mimpi sekeren ini.

Lihat selengkapnya