Hutan pagi itu gelap oleh rindang pepohonan yang sudah lama tak disentuh oleh cahaya matahari. Suara burung yang biasa berteriak riang kini hanya terdengar samar. Tangan memegang kapak kayu besar disertai peluh keringat yang tak henti-henti berjatuhan, Ijul tengah mencari pohon yang cocok untuk ditebang. Di sekitarnya, para pekerja lain juga sibuk membalak kayu kalaupun kebanyakan alat pemotong kayu yang dipakai sudah tumpul. Setiap ayunan kapak memecah keheningan, suara kayu yang terbabat terdengar keras.
Ketika di rasa cukup, ia memanggul seluruh kayu yang sudah di tebangnya untuk disetorkan. Tumpukkan kayu yang bahkan dua kali lipat lebih tinggi tak membuatnya berhenti karena lelah. Sepanjang lima kilometer nanti, ia akan terus melangkah kecil menjaga keseimbangan dan sedikit membungkuk.
Ijul tidak berjalan sendiri, biasanya terdapat satu atau tiga orang yang berderet lurus seperti kereta api. Sebagian ada yang telanjang dada atau memakai kemeja yang tak dikancingkan, dan juga bertopi caping. Caping wajib dipakai karena terik matahari menjadi sengatan paling terasa ketika keluar dari hutan.
Pun sudah menjadi ciri khas kalau seorang pembalak kayu akan meninggalkan jejak kaki berlumpur di awal perjalanannya.
Akhirnya mereka sampai di tempat setoran—sebuah lapangan terbuka yang penuh dengan tumpukan kayu yang belum dihitung dan ditimbang. Di sana, seorang mandor Belanda berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, menatap para pekerja dengan tatapan tajam dan penuh penilaian. Wajah putih seakan suci tetapi matanya tajam seperti elang. Ijul yang baru tiba dengan potongan kayu beratnya langsung merasakan pandangan itu.
"Parah sekali kalian semua ya! LELET! Terlambat lagi!" bentak mandor itu. Suara itu tajam seperti kilat yang menyambar. "Kau tahu target kita, kan? Kayu ini masih jauh, jaaauh dari permintaan saya. SEMUA! KERJA YANG CEPAT! Kalian pikir ini main-main?"