Sore itu, langit mulai memerah. Matahari hampir tenggelam. Ijul baru saja pulang dari hutan, membawa beberapa potongan kayu di pundaknya. Langkahnya lambat dan letih, tubuhnya dipenuhi debu dan sisa keringat yang tidak nyaman di kulit. Ia meletakkan kayu di samping rumah sebelum masuk.
Di dalam, ibunya baru saja pulang dari ladang. Dengan tangan kasar dan pakaian lusuh yang penuh noda lumpur. Ijul memperhatikan ibunya, lalu matanya tertuju pada luka di tangan ibunya yang memerah dan berdarah sedikit.
"Tangan Ibu kenapa?" tanya Ijul dengan nada khawatir.
“Ah, cuma tersayat sabit waktu panen tadi. Tidak apa-apa." Ijul mendekat, menarik tangan ibunya untuk melihat lebih jelas. Ibunya menarik tangannya perlahan. "Sudah biasa, Jul. Ibu sudah pakai daun untuk menghentikan darahnya. Lebih penting sekarang Ibu mau bicara sama kamu."
Ijul mengerutkan dahi. "Bicara apa lagi, Bu? Aku mau istirahat."
Belum sempat Ijul melangkah masuk, Bapaknya keluar dengan wajah serius. Ia duduk di kursi kayu di tengah ruangan. "Ijul, duduk. Dengar apa yang Ibu mau bilang."
Ijul menghela napas panjang, tapi ia menuruti perintah Bapaknya. Ia duduk di bangku pendek dekat pintu, masih menyeka keringat di lehernya dengan kain lusuh.