Ijul dan Sunarti melangkah pelan di antara kerumunan pasar desa yang ramai. Hiruk-pikuk suara orang-orang menjadi atmosfer yang segar di pasar.
Di salah satu sudut pasar, seorang pedagang kayu bakar duduk di bawah tenda sederhana. Lelaki tua itu, Pak Suro, berteriak menawarkan dagangannya, wajahnya terlihat lelah. Tak jauh dari situ, seorang ibu paruh baya berjongkok di tikar, menjajakan singkong rebus yang masih mengepul, sementara seorang anak kecil berdiri di sampingnya, melambai-lambaikan keranjang anyaman berisi dagangan lain.
Ijul melirik ke arah Pak Suro dan berkata dengan nada lirih, “Lihat itu, Nar. Pak Suro masih jualan kayu bakar di pojokan. Dulu anaknya mau sekolah, katanya. Tapi, tidak jadi karena kendala biaya.”
Sunarti mengikuti arah pandangan Ijul. Ia menghela napas. “Banyak orang seperti itu, Ijul. Susahnya hidup bikin mereka tidak bisa mimpi lebih jauh.”
Ijul mengangguk pelan, tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia menatap tumpukan kayu bakar yang mulai berkurang, lalu berkata, “Kalau aku tetap di rumah bantu bapak, aku juga bakal begini, ya? Cuma, ya… begini-begini saja.”
Sunarti berhenti melangkah, memandang Ijul dengan sorot serius. “Ijul, tidak semua orang di pasar ini begini karena mau. Mereka hanya tidak punya pilihan.”
Mereka berjalan lagi, kali ini mendekati sebuah lapak kecil yang menjual buku tulis dan pena. Seorang pemuda berpakaian rapi sedang memilih buku di situ. Rambutnya tersisir rapi, dan di tangan kirinya tergenggam tas kulit usang.
“Itu murid Taman Siswa,” bisik Sunarti sambil menunjuk pemuda itu. “Katanya dia mau jadi guru nanti. Kamu tahu tidak? Dia dulu juga kerja keras bantu keluarganya, tapi dia tetap bisa sekolah.”