Mentari pagi menyoroti halaman Taman Siswa dengan kehangatan. Pohon-pohon besar menaungi anak-anak yang bermain, menciptakan suasana riuh yang dipenuhi tawa. Sunarti berdiri di tengah halaman, rambutnya yang dikuncir kepang dua bergerak mengikuti ayunan lompatannya. Ia bermain tali sambil memperhatikan teman-temannya. Beberapa anak berlari memainkan ular naga panjangnya, mengitari patung kecil di tengah halaman. Tidak jauh dari situ, beberapa anak duduk melingkar, melempar biji karet ke dalam lingkaran kecil yang digambar di tanah.
Dari kejauhan, suara derap langkah terdengar. Dua tentara Belanda memasuki halaman dengan wajah serius, topi mereka berkilau di bawah sinar matahari. Mereka melangkah perlahan sambil menoleh ke kanan dan kiri, memindai setiap sudut halaman.
Sunarti menahan diri untuk tidak memperhatikan terlalu lama. Ia kembali melompat lebih tinggi, berusaha menunjukkan semangat. Tentara itu terus melangkah, melewati anak-anak yang sedang bermain engklek di atas petak-petak yang digambar di tanah. Salah seorang tentara berhenti sejenak, menatap dua anak yang sedang berjongkok di bawah pohon besar, tampaknya tengah bermain dakocan.
“Permainan apa itu?” gumam salah satu tentara, dengan aksen Belanda yang kental.
“Entahlah,” jawab tentara lainnya, yang berjalan lebih lambat, mengamati dengan penuh rasa ingin tahu. Ia kemudian menunjuk ke arah salah satu orang yang tampak lebih dewasa di antara anak-anak yang sedang bermain.
“Ini sekolah, bukan?” tanyanya dengan suara berat.
Lelaki itu—seorang guru yang sedang menyamar—hanya tersenyum, menjawab dengan tenang, “Ini taman bermain, Tuan. Anak-anak tidak belajar, mereka bermain. Tuan bisa lihat sendiri. Anak-anak datang ke sini hanya untuk bersenang-senang”
Mata Sunarti menangkap gerakan salah seorang tentara, di mana tangan mereka menggenggam senjata dengan erat. Ia pura-pura memalingkan wajah, tetapi jantungnya berdetak kencang.
“Bersenang-senang?” Tentara itu menyipitkan mata. “Bukan belajar?”
Lalu tentara yang lainnya menambahkan, “Apa benar ini bukan tempat untuk mendidik anak-anak menjadi pemberontak?”
Sang guru tersenyum tipis. “Saya tidak mendidik mereka, saya hanya orang yang baru saja lewat di sini. Tidak lebih dari itu. Namun, lihatlah mereka, apa ada yang terlihat memberontak?”
Sang tentara mendengus, melirik anak-anak yang bermain lompat tali dan main bekel. Dari kejauhan, pandangan mereka tertuju ke arah sawah. Di sana, beberapa orang tampak sibuk menanam bibit padi. Tentara itu saling melirik.