Sore itu, Ijul pulang dari sawah dengan tubuh yang lelah, tetapi hatinya masih penuh semangat. Matahari yang hampir tenggelam memancarkan warna oranye samar, seolah-olah ikut melemah bersamaan dengan tubuhnya.
Namun, api itu lantas padam saat melihat kerumunan warga di depan rumahnya. Beberapa orang berbisik pelan, tetapi berhenti begitu melihat kehadirannya. Wajah-wajah mereka penuh iba, dan beberapa bahkan menghindari tatapannya. Langkah Ijul melambat, hatinya berdebar tidak karuan.
“Ada apa ini?” tanyanya dengan suara yang nyaris bergetar.
Tidak ada yang menjawab. Salah satu tetangga hanya menunduk, dan yang lain mengusap wajah dengan gelisah.
Ijul menerobos kerumunan dan membuka pintu rumahnya dengan tergesa. Pandangannya langsung tertuju pada ayahnya yang terbaring di dipan kayu, wajahnya lebam dan kaki yang bengkak diselimuti kain lusuh. Di sekeliling ayahnya, beberapa tetangga duduk diam dengan ekspresi muram.
“Bapak...” Ijul mendekat, suaranya hampir pecah.